7 Pelajaran Penting dari Peristiwa Tanah Syaam: Dunia yang Terkoyak dan Kemunafikan Global
Kisah kelam dari tanah Syaam: tragedi, pengkhianatan, dan secercah harapan. Apa yang bisa dipelajari umat dari luka yang menganga ini?
WartaBulukumba - Di Tanah Syaam, angin berhembus seperti pelarian yang membawa jerit dan duka ke setiap sudut. Langitnya, yang dahulu biru seperti surga yang dijanjikan, kini menggantung kelabu, berat dengan ratap dan doa. Reruntuhan berdiri seperti raksasa tua yang kelelahan, menyaksikan sejarah yang memakan anak-anaknya sendiri. Di tanah yang retak, cerita-cerita perih menetes ke dalam tubuh bumi. Syaam yang terdiri dari Suriah, Palestina hingga Jordan adalah saksi dari amarah dan kehancuran yang menjalar seperti api liar. Ini bukan hanya tanah, tapi epitaf bagi mimpi-mimpi yang dijadikan abu.
Sementara itu, di Manhattan, New York, Amerika Serikat, rimba beton yang megah, waktu berjalan dengan denyut kesibukan yang tak pernah jeda. Namun di sebuah sudut kecil, suara seorang pria asal Kajang Bulukumba menembus kebisingan. Imam Shamsi Ali, berbicara perlahan tapi penuh daya.
“Tanah Syaam memiliki kedudukan yang istimewa dalam Islam. Rasulullah SAW sendiri sering menyebut keutamaan tanah ini, baik terkait heroisme iman maupun kejadian akhir zaman,” ungkap Shamsi Ali di awal refleksinya, dalam wawancara virtual dengan WartaBulukumba.Com pada Ahad, 22 Desember 2024.
Direktur dan Imam Jamaica Muslim Center serta Presiden Nusantara Foundation ini menyampaikan tujuh pelajaran penting yang terjalin dari benang merah peristiwa di tanah Syaam.
Baca Juga: Kekerasan anti imigran dan Islamophobia di Inggris, Shamsi Ali: Karakter ganda dan kerapuhan nilai-nilai Barat
Baca Juga: Shamsi Ali peringatkan perang global terhadap agama dan moralitas: Benteng Indonesia mulai runtuh?
Tujuh pelajaran penting
"Saya terinspirasi oleh sebuah khutbah Jumat yang disampaikan oleh Sheikh Yasir Qadhi beberapa hari lalu. Saya merasa perlu menyampaikan sedikit contetan dari khutbah Syeikh Yasir karena peristiwa pembebasan Suriah dari cengkraman tirani Al-Asad dan genosida di bumi Palestina memiliki makna-makna yang sangat penting untuk kita renungi. Apalagi jika peristiwa ini ditarik ke ranah teologis (keimanan) dan keislaman kita," kata Shamsi Ali.
Ada tujuh pelajaran penting, lanjut Shamsi Ali, yang dapat diambil dari kekerasan-kekerasan yang terjadi di tanah Syaam.
"Saya yakin pelajaran-pelajaran ini sangat penting untuk kita semua, baik dalam interaksi antara penguasa dan rakyatnya ataupun interaksi di antara sesama rakyat," ungkapnya.
Pelajaran pertama, ia mengingatkan, adalah bahwa dunia ini tidak sempurna.
“Allah menciptakan bumi dengan kekurangan, termasuk kekerasan, pengrusakan, dan pertumpahan darah. Ini adalah kekhawatiran malaikat ketika manusia pertama kali diciptakan,” ujarnya, mengutip firman Allah dalam surah Al-Baqarah.
Baca Juga: Shamsi Ali mengungkap strategi global di balik konflik 'Israel'-Iran: Bagaimana masa depan dunia Islam?
Baca Juga: Dr. Shamsi Ali: 'Amerika Itu Negara Para Pendatang!'
Pelajaran kedua menyingkap kenyataan pahit: keadilan mutlak tak selalu hadir di dunia. Ia menegaskan, “Kezaliman di Palestina dan Suriah tak sepenuhnya terbalas di dunia ini. Namun kita percaya pada keadilan Allah di Hari Penghisaban, ketika semua akan diadili tanpa kecuali.”
Narasi itu berlanjut pada pelajaran ketiga, tentang kepemimpinan Rasulullah SAW yang menjadi teladan agung. Shamsi Ali membandingkan kasih sayang Rasulullah SAW saat peristiwa Fathu Makkah dengan kekejaman tirani di berbagai belahan dunia.
“Mereka yang mengaku sebagai pejuang HAM sering kali justru menjadi pelaku kekejaman, membuktikan kemunafikan yang nyata,” katanya.
Pelajaran keempat menjadi penegasan bahwa setiap kezaliman, seberapa besar atau lamanya, pasti akan berakhir.
Imam Shamsi Ali dengan yakin menyatakan, “Kezaliman memiliki akhir. Sejarah membuktikan, para penguasa zalim selalu berujung pada kehancuran.”
Shamsi Ali mengutip peringatan Rasulullah SAW tentang kegelapan yang akan menyelimuti para pelaku kezaliman di Hari Kiamat.
Namun, tidak semua luka berasal dari luar. Pelajaran kelima menggarisbawahi bahaya sektarianisme dan perpecahan di antara umat Islam sendiri.
“Sektarianisme adalah senjata yang sering digunakan untuk melanggengkan kekuasaan tirani, seperti yang terjadi di Suriah dan Palestina. Perpecahan membuat kita lemah dan mudah ditundukkan,” ucapnya penuh keprihatinan.
Dunia yang terkoyak dan kemunafikan global
Dalam pelajaran keenam, Shamsi Ali menyoroti kelemahan konsep nation-state yang membagi umat Islam ke dalam batas-batas geografis buatan penjajah.
“Masyarakat di tanah Syaam berbagi etnis, bahasa, dan budaya. Namun, nation-state memecah mereka sehingga mudah dikuasai. Kita harus membangun kebersamaan di atas dasar keyakinan, bukan sekadar batas-batas negara,” tegasnya.
Pelajaran ketujuh membawa pada kenyataan pahit tentang kemunafikan bangsa-bangsa kuat, khususnya dunia Barat.
“Mereka yang mengaku sebagai pejuang HAM kerap diam terhadap genosida yang terjadi selama puluhan tahun di Palestina. Bahkan, dukungan buta mereka kepada penjajah Zionis membuktikan keberpihakan yang terang-terangan,” ujarnya tajam.
Ia menutup refleksinya dengan nada penuh kemarahan yang diselimuti kekecewaan mendalam.
“The West must not claim to be the champion of Human Rights while violating the rights of others in the land of Shaam. Shame on you!” tegas Shamsi Ali.***
What's Your Reaction?