Awas, Maling dalam Selimut
Kehilangan barang karena aksi pencurian tentu sangat menjengkelkan. Apalagi jika barang yang hilang kepunyaan kantor dan yang mencuri adalah teman sendiri.
Kehilangan barang karena aksi pencurian tentu sangat menjengkelkan. Apalagi jika barang yang hilang adalah milik kantor dan yang mencuri adalah teman sendiri.
Peristiwa menjengkelkan ini terjadi pada 2004. Tahun ketika latarpasfoto kartu karyawan saya masih berwarna putih, belum biru. Latar foto berwarna putih berarti masih magang, dan masih bisa tidak diangkat menjadi karyawan tetap.
Cerita menyebalkan ini berawal di suatu malam Minggu di pertengahan 2004. Seperti biasa, seusai menggunakan untuk liputan, saya menyimpan kamera Nikon D100 di loker khusus bagi wartawan di kantor Redaksi Harian Kompas Biro Jawa Timur di Surabaya. Saat itu kantor biro Jatim masih menggunakan sebuah rumah di Jalan Kombes Pol M Duryat, Surabaya.
Kamera itu memang biasa disimpan di loker khusus tanpa kunci yang ada di kantor. Disimpan di loker karena kamera tersebut digunakan secara bergantian antara saya dan rekan foto seangkatan, Raditya Helabumi (RAD). Status magang membuat kami belum memungkinkan setiap orang mendapat fasilitas kamera operasional dari kantor.
Nah, di malam Minggu sekitar pukul 23.30 itu, srusai memotret pentas wayang kulit di Balai Pemuda, Surabaya, saya kembali ke kantor untuk mengirim foto dan menyimpan kamera di loker. Kamera bersama ini sudah dipesan oleh RAD untuk memotret di Minggu paginya.
Setelah urusan mengirim foto dan menyimpan kamera selesai, saya bergegas pulang ke rumah kos untuk beristirahat. Terbayang sudah kenikmatan terlelap hingga siang di kasur kamar kos. Mumpung hari libur, pikir saya.
Rencana bangun siang di hari Minggu buyar seketika saat telepon genggam berdering kencang sekitar pukul 08.00. Di ujung telepon RAD bertanya di mana kamera disimpan karena di loker tempat biasa disimpan kamera tidak ditemukan. Saya bersikeras bahwa kamera disimpan di loker, sementara RAD bersikeras tidak ada kamera di loker.
Buyar sudah keindahan hari libur itu. Kamera Nikon D100 yang tidak ada di laci loker menghantui pikiran saya. Hari itu terasa tidak menyenangkan. Apalagi setelah saya ke kantor di sore hari untuk memeriksa loker dan bertemu RAD. Dan memang kamera hilang dari loker kantor.
Senin sore seusai liputan menggunakan kamera analog Nikon F60 milik pribadi, saya melapor kepada Kepala Biro Jawa Timur yang saat itu dijabat oleh AW Subarkah (AWE). ”Kamera baru beli sudah hilang, ya, sudah sana...,” jawab mas AWE ketus dengan sedikit melirik saya. Hilang sudah kesempatan membela diri.
Mulai saat itu, hari-hari terasa lama dan menyiksa. Saya yakin tidak bersalah karena kamera memang hilang di loker kantor, tetapi semua mata seakan menuju kepada saya. Setiap sore seusai liputan dan mengirim foto, saya menghabiskan hari dengan nongkrong sendirian di pos satpam kantor. Seminggu berlalu, belum ada kejelasan tentang keberadaan kamera. Semua gelap, tidak terbayang harus mencari ke mana kamera itu. Saya hanya bisa membagikan nomor seri bodi kamera dan lensa yang hilang kepada teman-teman wartawan lain. Sambil berharap ada informasi terkait keberadaan kamera itu.
Memasuki minggu kedua hilangnya kamera, situasi yang saya alami semakin rumit. Penyebabnya adalah datangnya kiriman sepeda motor Yamaha Vega baru dari orangtua di Solo. Mampus, jangan-jangan saya dituduh menjual kamera untuk membeli motor baru. Kamera hilang, dapat sepeda motor baru, apa kata orang. Ah, pikiran tambah runyam.
Menipis sudah impian keliling Indonesia gratis dibayari perusahaan media. Mencoba tetap ceria itu penting dan kalau memang harus putus kontrak itu rezeki saya.
Hari-hari selanjutnya saya mulai pasrah akan nasib. Tiba-tiba di Jumat sore, satu atau dua minggu setelah motor baru datang, kamerawan TV7 (sekarang Trans 7), Revolusi Riza (Revo), yang juga berkantor di bangunan yang sama, berteriak tentang info terkait kamera Nikon D100 yang hilang. ”Nu, kameramu ketemu neng Pasar Turi, ciri-ciri malinge putih, lemu, nganggo kocomoto (Nu, kameramu ada di Pasar Turi, ciri-ciri malingnya putih, gemuk, pakai kacamata),” teriaknya sambil memanggul tripod menuju ruangannya di lantai 2 kantor Kompas.
Info keberadaan kamera ini didapatkan Revo dari wartawan foto kantor berita Reuters di Surabaya, Sigit Pamungkas. Sigit sendiri mempunyai jaringan informasi yang kuat terkait toko-toko yang sering kali menjadi langganan warga yang hendak menjual kamera bekas.
Mendengar teriakan dan cerita soal keberadaan kamera dan ciri-ciri pelaku, harapan muncul lagi. Walaupun belum 100 persen benar, paling tidak ada harapan untuk membuktikan bahwa bukan saya yang salah dalam kasus kehilangan kamera itu.
Selanjutnya, bersama RAD, saya memutuskan untuk ke Pasar Turi dan mencari kamera yang hilang. Minggu pagi, saya dan RAD pergi ke Pasar Turi menjalankan rencana mencari kamera. Sungguh terkejut kami saat masuk dan menaiki tangga pasar. Di tangga itu kami berpapasan dengan teman sekantor yang bertugas di salah satu bagian, sebut saja H, dengan ciri-ciri sama persis seperti yang disebutkan Revo. ”Waduh, jangan-jangan...,” batin saya saat itu.
”Ngapain di Pasar Turi?” tanya saya saat bertemu.
”Pengin mbantuin nyari kamera Mas...,” jawab H.
”Ah, terima kasih mau mbantuin...,” kata saya dan RAD.
Pertemuan itu tidak berlangsung lama. Setelah H pergi, kami langsung tertawa. Ternyata pikiran kami sama, jangan-jangan benar H yang maling kamera di kantor. Memang saat Revo berteriak di kantor, kami sempat menerka siapa yang punya ciri-ciri yang sama dan H ini masuk dalam pikiran kami.
Entah bagaimana penyelidikan dijalankan oleh teman-teman senior di kantor. Mungkin diawali dengan kecurigaan berdasarkan ciri fisik, kemudian terjadi interogasi kepada H ini. Namun, saat itu belum ada pengakuan dari H bahwa dialah yang mengambil kamera itu.
Drama interogasi bertambah seru saat suatu sore sejumlah rekan kantor, mulai dari anggota satpam, karyawan tata letak koran, dan karyawan bagian lain, tergopoh-gopoh turun dari lantai 2 kantor. Salah satu dari mereka membawa guling, sedangkan yang lain menggotong H. Mereka tampak kesulitan karena menuruni anak tangga yang sempit sambil menggotong H.
Sesampainya di tempat parkir kantor, mereka memasukkan H ke mobil Taft dan membawanya ke rumah sakit. Rupanya H jatuh pingsan saat diinterogasi rekan-rekannya. Dia dbawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Tak lama kemudian rombongan kawan-kawan ini kembali ke kantor sambil marah-marah. ”J*nc#k.... Diapusi maling...,” kata salah satu dari mereka.
”Ngertio tak antemi mau (Kalau tahu saya pukuli tadi),” imbuhnya
Selidik punya selidik, ternyata rekan-rekan yang sedang menginterogasi H ditipu olehnya. Ia pura-pura pingsan agar tanya jawab segera usai. Polah H ini ketahuan saat menjalani pemeriksaan di IGD. Dokter yang memeriksa yang memastikan bahwa H ini cuma drama. Ini dibuktikan dengan tidak jatuhnya kaki H saat ditekuk dan diberdirikan di atas kasur IGD. ”Ayo, Mas, bangun. Gak usah main sinetron,” ujar dokter jaga yang memeriksa H.
Tak lama setelah peristiwa ini, kantor memutuskan bahwa kasus ini tidak dibawa ke ranah hukum. Tetapi, H wajib menebus kamera dan mundur dari Kompas. Cerita tentang terkuaknya H sebagai pelaku pencurian ini juga mengungkap peristiwa-peristiwa barang hilang yang terjadi sebelumnya.
Cerita pedih yang mungkin paling ”lucu” adalah saat salah satu karyawan Kompas bagian SDM, Dani, kehilangan telepon genggam di kamar kosnya. Pelaku H yang satu rumah kos ini menghibur Dani. ”Tenang, Mas, gak usah sedih. Yuk, aku traktir makan,” ujar H. Ternyata uang untuk membayar makanan itu adalah hasil penjualan telepon genggam milik Dani yang dicuri H.
Peristiwa kehilangan kamera di kantor ini ternyata menguak peristiwa-peristiwa lain. Yang pasti, maling sudah mengembalikan kamera dan mundur dari Kompas. Saat berpamitan. ”Hati-hati, Mas, malingnya masih satu,” kata H sambil berjabat tangan. J*nc#k....
Baca juga : Nyaris Viral akibat Terjatuh Saat Memotret Peti Jenazah
What's Your Reaction?