Babel Review: 4 Peristiwa di 3 Negara yang Berkaitan Satu Sama Lain
Ketika beberapa peristiwa dari negara yang berbeda dirajut menjadi satu kisah utuh tentang konsekuensi dan emosi manusia.
“Babel” (2006) menjadi salah satu film klasik Alejandro Gonzalez Iñárritu yang jarang diperbincangkan. Persis seperti dua film pendahulunya; “Amores Perros” (2000) dan “21 Grams” (2003), Alejandro masih mempertahankan struktur penceritaan non-linear pada “Babel” yang menangkap beberapa peristiwa dengan latar berbeda yang saling berkaitan satu sama lain.
Ditulis oleh Guillermo Arriaga, “Babel” menjadi salah satu film yang berhasil menyinggung isu-isu budaya dalam lingkup global dengan caranya sendiri.
4 Peristiwa dari 3 Negara yang Saling Berkaitan
“Babel” mengambil latar cerita di tiga negara berbeda; Maroko, Meksiko, dan Jepang. Film ini diawali dengan pengenalan tokoh Yussef dan Ahmed, dua bocah penggembala domba di pegunungan Maroko. Kedua bocah ini diberi senapan .270 Winchester M70 yang dibeli ayahnya, Abdullah untuk berjaga apabila ada seekor serigala yang dianggap sebagai hama.
Saat tengah menggembala, Yussef dan Ahmed yang dibekali senapan saling berdebat tentang berapa kilometer jarak peluru yang dapat ditembakan senapan tersebut. Lalu kedua bersaudara itu memutuskan untuk mengujinya dengan membidik sebuah bus turis yang sedang lewat di jalan raya jauh di bawah pegunungan.
Mereka kira peluru dari senapan tidak akan menjangkau bus tersebut, namun nahas peluru mengenai seorang turis AS, Susan Jones (Cate Blanchett) yang sedang berlibur bersama suaminya Richard (Brad Pitt). Kedua bocah itu panik menyadari apa yang telah mereka perbuat, dan melarikan diri untuk menyembunyikan senapannya.
Kemudian film berlanjut ke perspektif Richard (Brad Pitt) sebagai seorang suami yang berusaha menyelamatkan istrinya yang tengah terluka parah akibat insiden penembakan itu. Tanpa diduga insiden penembakan oleh kedua bocah penggembala itu meluas menjadi isu terorisme internasional. Dalam film ini, Alejandro Gonzalez Iñárritu dengan cakap membuat pembuka film menjadi adegan yang cukup intens. Kita dibuat penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
Segmen ketiga film ini berlatar di AS – Meksiko, berfokus pada cerita seorang imigran ilegal, Amelia (Adriana Barraza) yang bekerja sebagai pengasuh. Lalu segmen keempat film berlatar di Jepang dengan berfokus pada kehidupan Chieko, seorang remaja tuna rungu yang mencoba bertahan hidup di Tokyo, di tengah renggangnya hubungan dengan ayahnya sendiri.
Awalnya kita sedikit dibuat bingung akan urutan kronologis cerita yang dirancang tidak linear, namun lambat laun cerita akan mulai terungkap di paruh kedua film. Kita akan semakin memahami rangkaian peristiwa yang menjadi sebab-akibat dari adegan pertama di Maroko.
Tak hanya sekadar mengeksplorasi permukaan masing-masing cerita saja, namun Alejandro sebagai sutradara memutuskan untuk mengeksplorasi lebih dalam masing-masing karakter di setiap ceritanya.
“Babel” dapat dibilang telah berhasil menguras emosi para penonton karena ceritanya yang orisinil, performa akting yang kuat, serta isu sosial budaya yang diangkat.
Film ini didukung oleh jajaran akting mumpuni dari aktor senior seperti Brad Pitt, Cate Blanchett, Gael Garcia Bernal. Tidak lupa aktris muda Rinko Kikuchi yang berhasil mencuri perhatian dengan aktingnya sebagai Chieko dalam film ini. Bahkan kisah yang paling personal dan menyentuh emosi para penonton mungkin segmen film yang bercerita tentang kehidupan Chieko dalam pencarian jati dirinya sebagai seorang remaja disabilitas.
Lanskap Indah dari Tiga Negara
Lokasi syuting dari film ini dilakukan di beberapa tempat, di antaranya Ibaraki, Tokyo, Tijuana, Sonora, Pegunungan Atlas, serta California. Tak ayal film ini berhasil menangkap lanskap indah dari masing-masing negara yang menjadi latar dalam film.
Didukung sinematografi arahan Rodrigo Pieto yang dibuat dengan cukup indah, terutama saat adegan film menyoroti pegunungan Atlas di Maroko yang terjal dan tandus.
Fenomena Butterfly Effect
“Babel” dengan begitu baik menggambarkan fenomena Butterfly Effect, yang mana ketika sebuah tindakan atau hal kecil terjadi, akan dapat menimbulkan konsekuensi di waktu dan tempat lainnya.
Mungkin film dengan genre semacam ini akan membosankan bahkan cenderung membingungkan apabila tidak dirajut dengan baik. Namun berkat kepiawaian Alejandro Gonzalez Iñárritu sebagai sutradara, rangkaian kronologi non-linear dalam film ini dirajut dengan rapi sehingga menjadi suatu kisah yang utuh.
Penulisan dan penyuntingan cerita berjalan dengan logis dan emosional. Di samping itu, sang sutradara mencoba menyampaikan pesan kepada kita bahwa dalam sebuah cerita tidak harus terdapat seorang pahlawan atau penjahat, melainkan terkadang kita hanya perlu untuk berempati kepada semua karakternya.
Berkat film ini, Alejandro memenangkan penghargaan untuk kategori Best Director pada ajang Cannes Film Festival 2007.
What's Your Reaction?