Garangnya MA Sentot dan Pasukan Setan di Indramayu
Indramayu punya cerita menarik yaitu tentang sosok MA Sentot dan pasukan setannya yang garang. Simak kisah lengkapnya di sini!
Selama 78 tahun Indonesia merdeka. Usía itu tidak lepas dari perjuangan para pahlawan yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di berbagai wilayah, termasuk perjuangan MA Sentot dengan pasukan setannya di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Muhammad Asmat Sentot atau dikenal MA Sentot adalah salah satu tokoh sentral yang mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. Perjuangannya bersama pasukan setan melakukan serangkaian gerilya hingga serangan fisik dan mengganggu mobilitas tentara Belanda.
Disebutkan diberbagai sumber, perjuangan itu berlangsung sejak tahun 1945 sampai 1949. Pasukan setan sering melakukan serangan dan mengganggu mobilitas tentara Belanda hingga terjadi perang fisik. Beberapa aksi peristiwa itu terjadi di sejumlah akses utama yang menghubungkan markas pusat Belanda di Kabupaten Indramayu.
Jembatan Bangkir, di Kecamatan Lohbener, Indramayu jadi salah satu tempat bersejarah. Saat itu, aksi heroik pasukan setan berhasil menghadang konvoi pasukan Belanda.
Budayawan Indramayu, Supali Kasim mengatakan, perang itu berlangsung cukup sengit. Kontak senajat kedua kubu terjadi hingga beberapa pejuang berguguran, meski pada akhirnya pasukan Belanda kocar-kacir. Peristiwa yang terjadi pada November 1947 itu kemudian diabadikan dalam sebuah tugu yang terletak di sebelah jembatan Bangkir.
"Peristiwa paling lama itu di Bangkir. Di Bangkir itu banyak pahlawan yang meninggal dan nama-nama pejuang kemudian diabadikan jadi nama jalan di Indramayu. Salah satu pejuang yang gugur di Bangkir itu namanya Murahnara dari Karawang. Sekarang kan jadi nama jalan di depan RSUD," kata Supali ditemui detikJabar, Jumat (11/8/2023).
Pasukan yang dipimpin MA Sentot yang kala itu terkenal berkat cekatan dan kesaktiannya itu kemudian dijuluki sebagai pasukan setan. Meski hanya beranggotakan belasan orang, namun pasukan setan yang memiliki lambang tengkorak dan tanda silang di bawahnya itu sering mengobrak-abrik pasukan Belanda di Bumi Wiralodra. Itu termasuk saat mengadang tentara Belanda di perbatasan Desa Larangan, Lohbener. Dalam peristiwa itu banyak dikenang dengan sebutan Bren Untung.
Kala itu, pasukan setan melumpuhkan konvoi pejabat Belanda, yang konon salah satunya adalah pejabat bendahara Belanda. Setelah ditaklukkan, pasukan pun merampas beberapa harta, termasuk senjata Bren-Gun. Sehingga, pasukan yang mendapat senjata itu dijuluki 'Si Untung atau Bren Untung'. Kemudian, senjata itu menjadi kebanggaan pasukan setan.
"Salah satu kenangan itu konon yang disergap bagian bendahara. Ada juga yang mendapatkan senjata Bren, makanya di situ dikenal ada orang mendapatkan 'Bren Untung'. Itu diambil setelah terjadi tembak menembak kemudian Belanda dilumpuhkan dan Bren-nya di ambil," ujar Supali.
Tugu peprjuangan di sekitar Jembatan Bangkir Indramayu. Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar) |
Selain itu, perjuangan yang dialami pahlawan di Indramayu tidak selalu mulus. Seperti kata Supali Kasim, peristiwa yang terjadi di Desa Siwatu (sekarang Desa Gelarmandala, Kecamatan Balongan). Pejuang harus dihadapkan dengan warga pribumi yang terpaksa menjadi barisan Belanda sebagai sandera. Dalam peristiwa ini disebutkan Supali sebagai penyerangan pasukan khusus Belanda.
"Siasat Belanda, rakyat itu disandera, dari Paoman, Sindang untuk berbaris di depan. Jadi pejuang yang mau menyerang itu gak mungkin menyerang rakyat sendiri, karena ada tameng. Sehingga, pejuang Ketika itu mudah dilumpuhkan oleh Belanda," katanya.
Aksi pasukan setan yang sering mengadang, menyerang dan menghilang itu rupanya membuat tentara Belanda murka. Hingga dalam catatan jurnal 'Perjuangan M.A. Sentot Dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan Di Indramayu (1945-1949)' oleh Wahyu Iryana, Nina Herlina Lubis, dan Kunto Sofianto, bahwa pada 6 Desember 1947 MA Sentot dan pasukannya mendapat kabar akan terjadi serangan besar-besaran di basis pertahanan yang ada di Kampung Waledan dan Kujang. Serangan Belanda di jalur darat, udara dan laut berlangsung pada 7 Desember 1947.
Disebutkan dalam jurnal itu, Pada hari yang nahas itu, tiga unit pesawat terbang tempur milik Belanda terbang, berputar mengelilingi angkasa Desa Waledan dan kujang. Pasukan Belanda secara frontal menembaki dari udara, menghujani dengan peluru ke arah rumah-rumah penduduk yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para gerilyawan.
Tentu saja rakyat menjadi panik, berhamburan ke luar mencari perlindungan. Suasana kian mencekam dan kondisi ketika itu sangat kacau. Bahkan lama kelamaan tentara Belanda menjadi semakin beringas.
Semua rumah mereka tembaki dari udara tanpa terkecuali. Penyerangan itu dilakukan setiap setengah jam sekali. Rakyat dan pasukan gerilyawan mencari tempat yang aman dan bersembunyi sebisa mungkin.
Namun patut disyukuri ialah dalam peristiwa penyerangan besar-besaran oleh Belanda beserta warga yang telah dihasut ketika itu, para gerilyawan dan sebagian besar penduduk masih mampu meloloskan diri, walaupun ada beberapa yang tertembak meninggal ditempat.
Adanya peringatan dini yang disampaikan Dr. Sudiro kepada M.A. Sentot sebelum penyerangan terjadi, sangat berguna untuk menghindari jatuhnya banyak korban dari para gerilyawan maupun penduduk desa.
(orb/orb)What's Your Reaction?