Hal-hal yang tidak disampaikan Presiden Jokowi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial

Hal-hal yang tidak disampaikan Presiden Jokowi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial

PPHAM

Sumber gambar, Hafidz Mubarak A/ANTARAFOTO

Setelah Presiden Joko Widodo meluncurkan program penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu secara non-yudisial, sejumlah korban dan pegiat HAM tetap mendorong pelaku kejahatan dala kasus-kasus itu diseret ke pengadilan.

Presiden Jokowi juga menegaskan, penyelesaian non-yudisial ini "tanpa menegasikan mekanisme yudisial [jalur pengadilan]."

"Langkah yudisial itu apabila bukti-buktinya kuat. Komnas HAM akan menyampaikan ke Kejaksaan Agung, kemudian juga persetujuan dari DPR, berarti bisa berjalan. Saya kira, dua-duanya bisa berjalan tetapi kita ingin yang non-yudisial dulu yang bisa bergerak langsung kita selesaikan," kata Presiden Jokowi.

Pegiat HAM menilai belum ada keseriusan dari pemerintah untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Adapun langkah-langkah yang sudah dilakukan dianggap sebagai ajang "cuci dosa pelaku dan cuci dosa peristiwa"

Pasalnya, komitmen penyelesaian kasus kejahatan HAM berat masa lalu sudah bertahun-tahun digulirkan, tapi sampai saat ini pelaku dan kebenarannya masih berkabut.

Berikut adalah hal-hal yang tidak disampaikan oleh Presiden Jokowi mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Mengapa pelaku kejahatan HAM berat di Indonesia sulit diadili?

PPHAM

Sumber gambar, RAHMAD/ANTARAFOTO

Pertama, karena pilihan mengungkap kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah dilakukan, kata Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia [PBHI], Julius Ibrani.

"[Sehingga] siapa pelaku, apa perbuatan, siapa korban, apa dampak kerugian, itu masih jadi perdebatan. Itu yang membuka ruang [pelaku] tidak bisa diadili," katanya.

Kedua, lanjut Julius, karena para pelaku dekat dengan kekuasaan politik, bersembunyi di balik nama besar militer, dan organisasi keagamaan.

"Mereka adalah warisan Orde Baru yang masih memegang kuat pondasi politik. Baik di parpol, kekuasaan politik aktif sekarang, eksekutif dan legislatif," katanya.

Seperti diketahui 12 kasus pelanggaran HAM Berat yang diakui negara melalui Presiden Jokowi adalah Peritiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tragedi Talangsari (1989), Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Penculikan Aktivis (1997-1998), Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II (1998-1999), Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999), Tragedi Simpang KKA (1999), Tragedi Wasior (2001-2002), Tragedi Wamena (2003), dan Jambo Keupok (2003).

Baca Juga:

Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini melibatkan militer dan kepolisian, menurut penyelidikan Komnas HAM.

"Itu kan sudah jelas berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, yang sampai sekarang tidak ditindaklanjuti [Kejaksaan Agung]," kata Direktur Imparsial, Gufron Mabruri kepada BBC News Indonesia, Rabu (28/06).

Gufron menyebut tidak ada keinginan politik dari pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, karena "beresiko politik bagi elit politik".

"Politik impunitas yang didukung oleh elit-elit politik yang berkuasa selama ini menjadi faktor penghambat dalam upaya penyelesaian kasus-asus pelanggaran HAM berat di Indonesia," katanya.

Mengapa Kejaksaan Agung belum menindaklanjuti temuan Komnas HAM?

PPHAM

Sumber gambar, RAHMAD/ANTARAFOTO

Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM karena dianggap kurang bukti yang cukup. Sejauh ini setidaknya terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat yang berkasnya bolak-balik antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM.

BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah. Keduanya belum merespons permintaan wawancara.

"Kesulitan itu bukan hanya dirasakan oleh penyidik Kejaksaan Agung selaku penyidik. Tetapi juga penyelidik Komnas HAM juga akan kesulitan, terutama didalam menguraikan alat bukti.

PPHAM

Sumber gambar, AKBAR NUGROHO GUMAY/ANTARAFOTO

"Baik itu alat bukti berupa keterangan saksi, ataupun alat bukti lain yang ditimbulkan dalam peristiwa hukum di masa yang lalu itu. Ini akan kesulitan sekali ya, termasuk bukti-bukti petunjuk yang saya pikir ini sudah tidak ada lagi. Apalagi ini kejadian sudah puluhan tahun," kata Ketut.

Keterangan ini belum berubah dari dua tahun lalu saat Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan 'hasil penyelidikan Komnas HAM belum sempurna untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan'.

"Namun petunjuk penyidik Kejaksaan agar terpenuhinya amanat undang-undang tidak pernah dipenuhi, sehingga penanganan perkara menjadi berlarut-larut, karena hasil penyelidikan Komnas HAM belum menemukan alat bukti yang cukup untuk menduga bahwa seseorang berdasarkan suatu peristiwa atau keadaan adalah sebagai pelaku kejahatan HAM Berat," kata Jaksa Agung Burhanudin.

Bagaimana mengadili kasus pelanggaran HAM berat?

hak asasi manusia

Sumber gambar, AFP

Dalam kasus pelanggaran HAM berat, kewenangan penyelidikan sepenuhnya berada di tangan Komnas HAM. Hasil temuan ini kemudian dilaporkan ke Kejaksaan Agung sebagai pihak penyidik dan yang berwenang menindaklanjutinya ke penuntutan.

Jika bukti sudah cukup, maka pihak kejaksaan akan mulai melakukan penuntutan di persidangan.

Sebaliknya, jika bukti dianggap tidak cukup, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM untuk dilengkapi—ini yang terjadi dalam proses hukum belasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu saat ini.

Pengadilan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 dilaksanakan di Pengadilan HAM ad hoc.

Untuk memutar video ini, aktifkan JavaScript atau coba di mesin pencari lain

Sementara itu, peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di atas tahun 2000 menggunakan mekanisme Pengadilan HAM.

Sebenarnya tidak banyak perbedaan dalam hukum acara kedua pengadilan ini, hanya saja pengadilan HAM ad hoc dibentuk melalui usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan peristiwa tertentu dan Keputusan Presiden.

Pengadilan HAM yang digelar di Peradilan Umum "memeriksa dan memutus", termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Apakah sudah ada terdakwa yang dihukum atas pelanggaran HAM berat?

PPHAM

Sudah. Tapi mayoritas divonis bebas.

Setidaknya terdapat 19 kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, 17 di antaranya telah rampung diselidiki dan ditetapkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

Ada empat perkara yang sudah masuk persidangan, total 35 terdakwa akhirnya dibebaskan.

Perkara Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000 sudah disidang hingga tingkat kasasi. Semua terdakwa perkara Tanjung Priok dan Abepura diputus bebas oleh Mahkamah Agung (MA), seperti dikutip dari Litbang Kompas.

Dalam kasus Timor Timur, hanya satu terdakwa dinyatakan bersalah, dan pada 13 Maret 2006, MA memvonis Eurico Guterres 10 tahun penjara. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Prointegrasi Timor Timur ini diyakini melakukan kejahatan HAM berat di Timor Timur.

Apakah pelaku kejahatan HAM berat lainnya bisa diseret ke pengadilan?

hak asasi manusia

Sumber gambar, AFP

"Bisa dilakukan, dan mudah dilakukan," kata Julius Ibrani.

Tapi melihat dari deretan hasil pengadilan terhadap terdakwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah disidangkan justru disebut Julius sebagai ajang "mencuci dosa pelaku dan mencuci dosa peristiwa".

"Jadi by intention dia buat ini banal, ini tumpul, supaya pelaku tidak terseret. Peristiwa tidak pernah benar-benar diungkapkan," kata Julius.

Ia melanjutkan, pengungkapan pelanggaran HAM berat baru benar-benar bisa terjadi jika pelakunya tidak lagi memegang kuat pondasi politik di Indonesia.

"Tidak mungkin pemerintah mengadili dirinya sendiri," tambahnya.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menantang Presiden Jokowi memprioritaskan pengadilan kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998.

"Bersamaan dengan itu presiden juga harus membersihkan pemerintahan dan lingkaran kekuasaannya dari orang-orang yang diduga berkaitan dengan kasus tersebut.

Hal ini penting, sebab dengan mereka masih ada di kekuasaan dan apalagi menduduki jabatan strategis, tentu hal itu akan menjadi hambatan politik bagi presiden untuk mendorong proses yudisial terhadap kasus tersebut," kata Gufron.

Apakah ada penyelesaian lainnya?

hak asasi manusia

Sumber gambar, Getty Images

Ada, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ini merupakan penyelesaian lewat mekanisme non-yudisial.

KKR pertama kali dipraktikkan Argentina dan Uganda pada 1980an, sebagai mekanisme yang dibentuk era transisi pemerintahan otoriter ke demokratis.

Afrika Selatan menjadi salah satu negara yang bisa dibilang sukses melaksanakan KKR untuk menangani pelanggaran HAM terkait Apartheid.

Komisi itu bertugas menginvestigasi pelanggaran HAM yang terjadi, merestorasi martabat korban, hingga memberi amnesti pada pelaku pelanggaran HAM yang memenuhi persyaratan.

Namun 17 tahun setelah dibatalkan oleh MK, UU ini tak pernah ada kemajuan pembahasan antara DPR dan pemerintah.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan pembahasan UU KKR yang baru "menghadapi banyak hambatan yang rumit".

Bagaimana pun, kata dia, aturan ini masih diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, "Karena hal itu diperlukan untuk masa-masa yang akan datang, sehingga terus diusahakan untuk dibuat," kata Mahfud MD.

Mengapa pemerintah lebih memilih mengambil langkah non-yudisial lewat PPHAM?

PPHAM

Sumber gambar, Hafidz Mubarak A/ANTARAFOTO

Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan baik jalur yudisial maupun non-yudisial [KKR] untuk penanganan kasus kejahatan HAM berat masa lalu "hasilnya jauh dari harapan."

"Upaya membawa pelanggaran HAM berat masa lalu selalu gagal dibuktikan di pengadilan, sehingga dari empat peristiwa dengan tiga puluh lima terdakwa yang diajukan ke pengadilan, semuanya pada akhirnya dibebaskan oleh pengadilan," kata Mahfud MD.

Di sisi lain, upaya membentuk KKR kandas karena Undang Undangnya dibatalkan MK, dan sejauh ini belum ada kemajuan untuk membuat aturan yang baru.

"Itu lah sebabnya, dari pada berdiam diri dan menunggu selesainya kerumitan melalui dua jalur itu, Presiden RI mengambil kebijakan untuk melakukan langkah-langkah pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu," katanya.

Ia menegaskan, langkah pembentukan program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), "sama sekali tidak meniadakan keharusan dan upaya penyelesaian yudisial."

"Tekanannya adalah korban. Bukan pelaku," kata Mahfud MD.

Video terkait yang bisa Anda simak:

Untuk memutar video ini, aktifkan JavaScript atau coba di mesin pencari lain

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow