Impunitas vs Reparasi

Sejak reformasi bergulir hingga kini tuntutan keadilan, membawa para pelaku ke meja hijau terus disuarakan para korban. Banyak pihak menilai problem utamanya terletak kepada kemauan politik untuk menyelesaikan persoalan.

Pada 27 Juni lalu di Rumoh Geudong, Desa Billie Aron, Pidie, Aceh, Presiden Joko Widodo meluncurkan Program Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat atas tiga peristiwa PHB di Aceh.

Peluncuran program ini merupakan implementasi dari Inpres No 2/2023 dan Keppres No 4/2023 Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, tindak lanjut dari rekomendasi PPHAM (Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat) yang dibentuk berdasarkan Keppres No 17/2022.

Dalam peluncuran program tersebut, korban dan keluarganya menerima beragam bentuk pemulihan, seperti beasiswa, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pelatihan keterampilan, hewan ternak, traktor, dan renovasi rumah, sebagaimana pemulihan yang diharapkan. Program pemulihan itu melibatkan 12 kementerian dan lembaga (K/L).

Baca juga : Sejarah dan Tanggung Jawab Kemanusiaan

Langkah ini disambut antusias para korban PHB di Aceh dan menumbuhkan harapan bagi korban lain. Suryo Martono dan Sudaryanto Priyono, mahasiswa ikatan dinas di Ceko dan Moskwa, pada 1965 tak bisa kembali ke Indonesia dan kehilangan kewarganegaraan karena paspornya dicabut Pemerintah RI. Mereka berdua hadir di acara ini, menyampaikan kekaguman dan apresiasi. Bagi mereka, ini bukan hanya penting bagi korban, tetapi terutama buat generasi muda.

Lokasi Rumoh Geudong telah dibeli Bupati Pidie, menurut rencana dibangun living park dan masjid yang terinspirasi dari Masjid Tuha Indrapuri.

Upaya pemerintah itu dicurigai pegiat HAM sebagai bagian dari impunitas. Apabila merujuk pada frasa ”Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat”, rasanya mudah menyulut salah sangka di antara situasi stagnan proses penyelesaian yudisial PHB. Beda cerita apabila pemerintah menggunakan frasa ”Pemulihan Korban dan Pencegahan Pelanggaran HAM yang Berat”.

Sejumlah respons atas pembersihan lokasi Rumoh Geudong tak sepenuhnya tepat. Di lokasi itu tak ada lagi bangunan rumah, yang tersisa hanya puing dinding sisa bangunan. Apabila dikaitkan dengan barang bukti dari proses pro justitia, nyatanya puing-puing itu tidak pernah diberlakukan sebagai barang bukti. Upaya pemerintah membuat memorialisasi di lokasi itu juga masih menyisakan tangga sebagai simbol Rumoh Geudong dan mempertahankan dua sumur serta monumen prasasti. Jadi, sebagai situs sejarah dari peristiwa PHB, sisa bangunan yang ada masih bisa ’bercerita’.

Foto sisa Rumoh Geudong, di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Daerah Istimewa Aceh.
KOMPAS/ZULKARNAINI

Foto sisa Rumoh Geudong, di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Daerah Istimewa Aceh.

Impunitas

Akar kata impunity dari bahasa Latin adalah impune, artinya tanpa hukuman.

Definisi ”impunity” dalam kerangka hukum internasional di sini adalah ”ketidakmungkinan, de jure atau de facto, untuk membawa pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif, maupun disipliner, karena mereka tak bisa dijadikan obyek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan, dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka” (Kontras, 2005).

Impunitas bukan isu baru dalam soal penyelesaian kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan. Geoffrey Robertson QC (2002) mencontohkan, impunitas terjadi sejak AS memutuskan tak membawa Kaisar Hirohito ke meja pengadilan. Menurut dia, impunitas bisa terjadi karena kekuasaan politik yang memberi mereka peluang untuk melakukan negosiasi dan mencari jalan keluar dari panggung yang berlumuran darah.

Ahli independen PBB, Louis Joinet (1997), mengatakan, impunitas merupakan tema kemanusiaan yang seakan kekal dan paradoks. Kaum tertindas yang berbalik jadi penguasa tiba-tiba terperangkap dalam situasi yang baru yang cenderung memoderasi komitmen awal mereka.

Empat peristiwa PHB telah digelar pengadilan HAM. Namun, putusannya jauh dari memuaskan karena tak semua pelaku didakwa, putusan bebas, termasuk hilangnya kesempatan kompensasi bagi korban.

Di Indonesia, Komnas HAM telah melakukan 15 penyelidikan atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat, baik yang terjadi di masa Orde Baru maupun pasca-Orde Baru. Empat peristiwa PHB telah digelar pengadilan HAM. Namun, putusannya jauh dari memuaskan karena tak semua pelaku didakwa, putusan bebas, termasuk hilangnya kesempatan kompensasi bagi korban.

Bahkan, International Center for Transitional Justice (ICTJ) dalam laporan pemantauan atas persidangan ad hoc PHB peristiwa Timor Timur menyimpulkan, pengadilan itu dimaksudkan untuk gagal (ICTJ, 2004). Sebab, proses peradilan dinilai tidak adil (unfair trial).

Ruang penyelesaian melalui rekonsiliasi juga berhenti sebelum terbentuk lembaganya. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebab, terdapat pasal yang menggantungkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi korban dengan amnesti kepada pelaku. UU KKR itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi.

Negara idealnya menindak para pelaku dan memulihkan hak para korbannya. Klausul HAM telah masuk dalam berbagai perundang-undangan, tetapi dirasa ada gap antara norma dan praktik. Banyak pihak menilai problem utamanya terletak kepada kemauan politik untuk menyelesaikan persoalan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/o14d7CoSM1fr52-PXMoF9Nc03JY=/1024x2695/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F09%2Fc7cd1706-8905-43b0-9139-5403e4c784fe_png.png

Sejak reformasi bergulir 1998, hingga kini tuntutan keadilan, membawa para pelaku ke meja hijau terus disuarakan para korban. Konsistensi korban ini setidaknya terlihat dari Aksi Kamisan (terinspirasi Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina) yang mereka gelar setiap Kamis di depan Istana Merdeka, Jakarta. Aksi ini pertama digelar 18 Januari 2007. Aksi 14 Juli 2023 adalah aksi ke-779.

Keprihatinan korban dan pegiat HAM ialah kita dengan cepat melupakan perbuatan orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab, kecenderungan pengabaian tuntutan keadilan korban dengan alasan politis dan hukum. Negara dinilai menerapkan standar ganda.

Tuntutan pembuktian seolah dibebankan ke korban. Selama hukum tak bisa menyentuhnya, tak pernah dipersoalkan terduga pelaku terus bersinar di kancah nasional dengan berbagai atribut. Negara dinilai mempertahankan impunitas.

Situasi status quo ini menciptakan frustrasi di kalangan korban karena hasil penyelidikan tak berlanjut ke penyidikan, atau putusan pengadilan yang membebaskan pelaku. Kefrustrasian itu dinilai membuat korban menurunkan standar tuntutan dari soal keadilan ke soal pengakuan dan kesejahteraan.

Situasi status quo ini menciptakan frustrasi di kalangan korban karena hasil penyelidikan tak berlanjut ke penyidikan, atau putusan pengadilan yang membebaskan pelaku.

Reparasi

Hak atas reparasi (right to reparation). Istilah reparation dapat diterjemahkan jadi pemulihan. Pemulihan adalah hak yang menunjuk ke semua tipe pemulihan, material ataupun nonmaterial, bagi para korban pelanggaran HAM. Pemulihan itu kita kenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi serta kepuasan (satisfaction), bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban. Reparasi merupakan usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan.

Reparasi itu sendiri bagian dari penyembuhan efektif (effective remedy) dari hak korban PHB lainnya berupa hak mengetahui, hak atas keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. Apabila merujuk Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban-korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan yang diadopsi Resolusi Majelis Umum (MU) PBB No 40/34 (29 November 1985) dan Resolusi MU PBB No 60/147 Tahun 2005, hak korban tak bisa ditunda. Situasi pelaku tak boleh menunda pemenuhan hak korban.

Di Argentina, di samping proses peradilan, pemerintah juga membuat langkah pemulihan korban sebagaimana rekomendasi laporan Nunca Mas. Ditetapkan uang pensiun setara 75 persen gaji minimum. Bekas tahanan politik diberi kompensasi sekalipun tak ada nilai uang yang dapat mengompensasi hilangnya orang yang dicintai atau memperbaiki kerusakan timbul akibat penyiksaan.

Soal pemulihan korban PHB sebenarnya telah ada di UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Negara memberi mandat kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan bantuan medis, psikologis, dan psikososial khusus ke korban PHB.

LPSK sejak 2010 telah memberikan program perlindungan kepada korban PHB. Hingga Juni 2023 sudah 4.586 korban dari 10 peristiwa PHB (berdomisili di 19 provinsi) mendapatkan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Mereka terdiri dari korban langsung dan keluarganya (orangtua, istri, anak).

Para aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Aksi Kamisan ke-772 ini digelar dengan tema Peringatan 25 Tahun Reformasi : Tegakkan Supremasi Hukum dan HAM.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Aksi Kamisan ke-772 ini digelar dengan tema Peringatan 25 Tahun Reformasi : Tegakkan Supremasi Hukum dan HAM.

Dalam program psikososial, LPSK telah memberikan beasiswa, perlengkapan belajar, paket bahan pokok, obat-obatan (saat pandemi Covid-19), bantuan ternak, pelatihan barista, kursus masak, servis AC, mencukur, membatik, pembuatan pupuk organik dan bercocok tanam, modal usaha, bahkan renovasi rumah.

Upaya LPSK itu dinilai belum bentuk pemulihan sesungguhnya. Pertama, pasal yang mengatur rehabilitasi bagi korban PHB di UU itu menggunakan diksi ’bantuan’ yang mengisyaratkan belas kasihan. Dalam konteks hak, pemulihan merupakan hak korban PHB yang seharusnya diberikan negara. Kedua, yang dilakukan LPSK dikatakan sebagai upaya pemulihan (reparations efforts), belum program pemulihan (reparations programs).

Program pemulihan dan pencegahan saat ini tengah dijalankan Tim PKPHAM melibatkan 12 K/L. Dalam inpres juga terdapat klausul: Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM berat. Artinya, program pemulihan yang dilakukan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari upaya impunitas.

Tantangan

Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial PHB ini menghadapi tantangan. Pertama, pada perkara penghilangan orang secara paksa, keluarga korban mengalami masalah keperdataan. Sementara sistem kependudukan hanya mengenal orang hidup dan meninggal. Dibutuhkan terobosan hukum untuk memberikan status hilang bagi korban.

Artinya, program pemulihan yang dilakukan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari upaya impunitas.

Kedua, tanggung jawab K/L di inpres ini membawa konsekuensi anggaran dan pergeseran program K/L dari rencana anggaran sudah disetujui di 2022 dan tak ada nomenklatur pemulihan korban dalam anggaran K/L. Pertanyaannya, sejauh mana kesanggupan K/L memberikan pemulihan korban PHB di tahun ini? Perlu nomenklatur pemulihan/pencegahan dalam anggaran K/L dengan jumlah yang memadai untuk pelaksanaan pemulihan efektif bagi korban.

Ketiga, masa kerja PKPHAM berakhir Desember 2023. Ada potensi program pemulihan ini belum tuntas karena tantangan yang ada, misal jumlah korban, luas wilayah sebaran korban, kesiapan K/L termasuk anggaran, dan tahun pemilu. Pemerintah perlu menyiapkan plan B agar kendali, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan program pemulihan terlaksana sebagaimana niat luhurnya.

Keempat, penulisan sejarah pelanggaran HAM berat baiknya dilakukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi atau KKR (apabila terbentuk) agar tak ada upaya memonopoli sejarah.

Kelima, sebagai upaya mengakhiri impunitas, patut dipertimbangkan penguatan Komnas HAM, dengan memberi kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara mandiri seperti KPK dan tanpa persetujuan politik (DPR). Sekaligus memastikan kehadiran KKR dengan memperhatikan ’catatan’ yang diberikan MK.

Edwin Partogi Pasaribu Wakil Ketua LPSK

Edwin Partogi Pasaribu
KOMPAS.COM

Edwin Partogi Pasaribu

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow