Jalan Panjang Perjuangan Munir, Aktivis HAM yang Tewas Diracun

19 tahun berlalu sejak tewasnya Munir, aktivis HAM yang gencar menyuarakan keadilan bagi kaum tertindas. Nyaris 2 dekade, kasus tersebut belum juga terungkap.

Jalan Panjang Perjuangan Munir, Aktivis HAM yang Tewas Diracun
image

Daftar Isi

Makassar -

19 tahun berlalu sejak tewasnya Munir Said Thalib, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) yang gencar menyuarakan keadilan bagi kaum tertindas di era Orde Baru. Munir tewas diracun pada 7 September 2004 saat berada dalam pesawat menuju Belanda.

Meski nyaris 2 dekade, hingga kini dalang di balik kasus pembunuhan Munir belum juga terungkap.(1) Berbagai upaya telah ditempuh, mulai dari membentuk koalisi dan jejaring antar LSM, menempuh upaya hukum, melakukan advokasi dan kampanye, hingga meminta dukungan internasional, namun kasus ini tak kunjung menemukan titik terang.(2)

Kasus kematian Munir yang menyita perhatian dunia ini tentunya membuat detikers penasaran tentang siapa sebenarnya sosok Munir, serta seperti apa perjuangannya dalam menangani kasus-kasus HAM hingga dirinya mati terbunuh.

Mengenal Sosok Munir

Munir merupakan seorang aktivis HAM yang semasa hidupnya tak pernah gentar menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis mahasiswa dan pemuda, serta kelompok-kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan. Sebagai pekerja bantuan hukum di LBH, Munir banyak bersentuhan langsung dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia.

Kondisi yang dihadapi tersebut mendorongnya mengambil pilihan untuk turut andil. Munir mengambil pilihan berani untuk berdiri paling depan meneriakkan perjuangan hak asasi, serta politik yang bebas dari kekerasan.

Munir juga merupakan sosok di balik berdirinya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Berkat kerja keras bersama rekan-rekannya di KontraS, ia berhasil membongkar rangkaian peristiwa penculikan para aktivis mahasiswa dan pemuda.

Munir Tewas Diracun

Setelah bertahun-tahun bergelut dalam kerja-kerja kemanusian dengan memperjuangkan HAM, Munir pun merasa perlu memuaskan dahaga intelektualitasnya sekaligus mengembangkan wawasannya. Aktivis HAM itu akhirnya berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi master dalam bidang international protection of human rights di Utrecht Universiteit.

Sayangnya, rencana Munir untuk melanjutkan studi di Negara Kincir Angin itu harus terhenti begitu saja. Munir diracun dan tewas sebelum pesawat Garuda yang ditumpanginya mendarat di Schiphol.

Deretan Kasus HAM yang Diperjuangkan Munir

Sepanjang hidupnya, Munir tidak hanya mengadvokasi kasus-kasus perburuhan, seringkali dirinya juga menjadi korban militerisme politik perburuhan itu sendiri. Bahkan, jauh sebelum dirinya tewas akibat diracun, Munir telah beberapa kali mengalami ancaman dan teror mengerikan.

Munir banyak terlibat dalam penanganan kasus-kasus HAM yang membuatnya bersinggungan dengan kepentingan aktor-aktor tertentu di kalangan militer. Jika melihat rekam jejak sang aktivis HAM tersebut, akan ditemui daftar panjang nama-nama orang yang sangat terusik dan terganggu oleh sepak terjang Munir.(1)

Berikut ini beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah ditangani Munir:

1. Kasus Orang Hilang (Penculikan Aktivis 1998)

Peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa dalam periode tahun 1997-1998 terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) untuk periode 1998-2003. Kala itu ada dua agenda politik besar, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI yang pada saat itu masih dijabat oleh Soeharto.

Kasus ini menimpa para aktivis, pemuda, dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di era pemerintahan Orde Baru. Gagasan dan pemikiran yang disuarakan para aktivis ini dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah.

Sebanyak 23 aktivis menjadi korban penculikan saat itu. 9 orang di antaranya berhasil kembali dari penculikan, satu orang meninggal, sementara 13 orang lainnya masih hilang dan nasibnya hingga kini masih menjadi tanda tanya.(3)

Dalam kasus ini, Munir menunjukkan keberaniannya dalam mengungkap tokoh-tokoh yang terlibat dalam penculikan tersebut. Upaya advokasi yang dilakukan kala itu membuat kasus ini sedikit demi sedikit bisa terkuak.

Beberapa dari korban penculikan yang hilang berhasil kembali. Tak hanya itu, investigasi dan advokasi kasus ini kemudian berujung dengan dicopotnya tiga perwira penting militer Kopassus saat itu, yakni Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan dengan alasan terkait dengan kasus penculikan aktivis mahasiswa tersebut.(1)

2. Kasus Trisakti dan Semanggi

12 Mei 1998, jelang jatuhnya kekuasaan Soeharto, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Para mahasiswa, pemuda, dan aktivis berdemonstrasi menuntut perubahan pemerintahan yang yang demokratis serta reformasi total di tubuh pemerintahan.

Aksi demonstrasi yang semakin massif tersebut ditangani dengan pola-pola represif. Mulai dari pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa secara paksa, penembakan di luar proses hukum, hingga tindakan penganiayaan lainnya.

Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan Sie, tewas ditembak aparat. Peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan peristiwa Trisakti.

Beberapa bulan berselang pasca peristiwa Trisakti, tepatnya pada periode 8-14 November 1998, mahasiswa kembali melakukan aksi demonstrasi. Para mahasiswa berdemonstrasi menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi.

Peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Semanggi 1 tersebut menyebabkan 18 orang meninggal karena ditembak aparat, lima orang di antaranya adalah mahasiswa, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo dan BR Norma Irmawan. Korban yang luka-luka sebanyak 109 orang, baik masyarakat maupun pelajar.

24 September 1999, kembali terjadi aksi demonstrasi yang dikenal dengan peristiwa Semanggi II. Mahasiswa berdemonstrasi merespon rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, karena dianggap bersifat otoriter tak jauh dari UU Subversif.

Korban jiwa kembali berjatuhan, sebanyak 11 orang meninggal di seluruh Jakarta akibat penembakan oleh aparat, salah satunya adalah Yap Yun Hap di bilangan Semanggi. Sementara itu, korban luka-luka mencapai 217 orang.(4)

Dalam kasus Trisakti dan Semanggi, Munir mampu memperlihatkan bahwa Munir tidak terpengaruh dengan berbagai perkubuan dalam militer yang pada waktu itu masih dihidup-hidupkan dalam berbagai analisa. Dalam kasus ini, munir berhadapan dengan persoalan faksi militer yang tumbuh dalam kekuasaan pasca Soeharto.

Penyelesaian kasus ini sudah sampai ke Mahkamah Militer. Namum, tak kunjung menemui titik terang lantaran terkatung-katung antara Komnas HAM dan Jaksa Agung.(1)

3. Timor-Timur 1999

Pada tahun 30 Agustus 1999, diadakan jajak pendapat untuk menentukan apakah Timor-Timur akan lepas dari wilayah Indonesia, atau berdiri menjadi negara sendiri. Hasil jajak pendapat tersebut dimenangkan secara mutlak oleh kelompok pro kemerdekaan.

Mayoritas rakyat Timor-Timur saat itu menolak otonomi luas yang ditawarkan Presiden Habibie (Presiden saat itu). Lepasnya Timor-Timur dari Indonesia kala itu merupakan kekalahan bagi
Indonesia.

Anggota TNI yang bertugas di bekas provinsi Indonesia ke-27 itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas lepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia.

Pelanggaran HAM oleh anggota TNI menjadi alasan yang paling sering dikemukakan untuk menjelaskan keputusan rakyat Timor-Timur tersebut. Tidak hanya sampai di situ, TNI juga menghadapi tuduhan melakukan pembunuhan massal, pembakaran, penjarahan, serta berbagai tindak kekerasan usai jajak pendapat pada 30 Agustus 1999.(5)

Saat kasus ini diselidiki, Munir terlibat dalam investigasi Komisi Penyelidik Pelanggar (KPP) HAM Timor Timur. Kala itu, Munir menghadapi ketegangan yang sama dengan masa-masa ketegangan kasus orang hilang lantaran harus berhadapan dengan kelompok militer yang tengah berada dalam tampuk kekuasaan.

Saat itu, untuk pertama kalinya kalangan militer dipanggil untuk diperiksa di hadapan sebuah otoritas sipil. Hal itu menyebabkan efek psikologi politik yang luar biasa, baik untuk kalangan militer maupun kalangan sipil sendiri.

Namun, Jaksa Agung MA Rahman kala itu tidak menuntut ke pengadilan meski nama Wiranto dan Zacky Makarim masuk daftar nama KPP HAM/Komnas HAM. Di Pengadilan, terdakwa militer yang berada di bawah Wiranto dibebaskan oleh pengadilan.(1)

4. Pembunuhan Massal di Talangsari Lampung

Peristiwa pembunuhan Massal merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifestasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Saat itu, pemerintah tidak akan mentolerir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila. Aparat sipil maupun militer saat itu menaruh kecurigaan terhadap aktivitas Jemaah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Timur.

Kecurigaan yang tak berdasar itu kemudian mulai tak terkendali ketika pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. 5 Februari 1989, 5 orang jemaah yang sedang meronda di Pos Kamling diculik. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III dengan melakukan penembakan membabi buta.

Keesokan harinya, pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Penyerangan tersebut mengakibatkan pembunuhan langsung terhadap 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang.(6)

Dalam kasus tersebut, Munir bersama KontraS mendorong agar kasus ini diselesaikan secara hukum yakni di Pengadilan HAM ad hoc. Hendropriyono saat itu dilaporkan memimpin langsung penyerangan ke dusun Talangsari.

Namun dalam upaya investigasi, KontraS beberapa kali dihambat oleh insiden-insiden teror, intimidasi dan sabotase yang dilakukan oleh orang tak dikenal.

Di tahun 2004, tim KontraS yang kala itu dalam perjalanan menuju Lampung dari arah pelabuhan Bakauheni sempat diberhentikan aparat keamanan tanpa alasan jelas. Di Bandar Lampung, tim KontraS harus diperiksa seharian penuh untuk tuduhan kecelakaan yang dibuat-buat.

Akibat gangguan tersebut, pertemuan dengan para korban kasus Talangsari di Lampung pun batal.

Di tahun 2004, kasus ini tengah ingin diselidiki Komnas HAM, tapi juga tidak jalan. Sebelumnya, pada tahun 2001 Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Talangsari yang dipimpin Mayjend Pol Koesparmono Irsan, namun tidak berjalan.

Saat itu, Hendropriyono sedang menjabat sebagai Kepala BIN. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor tidak berjalan efektifnya penyelidikan Komnas HAM.

Selain 4 kalompok kasus di atas, di beberapa kasus lainnya Munir juga masih terlibat mengadvokasi. Di antaranya kasus pembantaian di Tanjung Priok dan kasus 27 Juli.

Namun, dalam kasus tersebut Munir tidak terlalu banyak bersinggungan dengan pihak yang dianggap sebagai pelaku. Hal ini dikarenakan saat itu sudah banyak kelompok HAM yang menangani kasus tersebut dan secara tidak langsung kelompok itu mengadvokasi kasusnya sendiri.(1)


Sumber:

1. Dokumen Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 'Bunuh Munir'
2. Jurnal Universitas Diponegoro 'Analisis Peran Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai Civil Society dalam Pengungkapan Kasus Pembunuhan Munir'
3. Buletin Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 'Inilah Penculik Aktivis 1998'
4. Dokumen Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 'Kronik Kasus Trisakti, Semanggi I dan II: Penantian Dalam Ketidakpastian'
5. Jurnal Universitas Islam Indonesia 'Pelanggaran HAM Berat Pasca Jajak Pendapat di Timor-Timur Tahun 1999 dan Pertanggungjawaban Komando'
6. Dokumen Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 'Kasus Talangsari Lampung'

Simak Video "Mahfud Akan Kunker ke Belanda-Ceko, Temui Korban Pelanggaran HAM Berat"
[Gambas:Video 20detik]
(urw/alk)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow