Kisah Tatiana dan Utang Sejarah bagi Para Eksil Peristiwa 1965

Kontras mengingatkan, negara masih memiliki utang sejarah bagi para eksil peristiwa 1965 yang telah menjadi korban diskriminasi dan kini tersebar di beberapa negara.

Usia Tatiana Lukman memang sudah mendekati 80 tahun, tetapi ia masih lincah dan aktif. Perjalanan dari Belanda, tempat tinggalnya saat ini, ke Indonesia (Jakarta dan Bogor) ditempuhnya seorang diri. Pada pertengahan Maret 2025, ia bertandang ke kantor Redaksi Kompas, Jakarta, untuk ”membersihkan” nama ayahnya.

Ia terusik dengan berita Harian Kompas edisi 23 November 1965, pada halaman pertama, yang memuat dugaan korupsi oleh Menteri/Wakil Ketua DPR-GR dari PKI MH Lukman senilai Rp 250 juta, dengan judul ”M.H. Lukman korupsi 250 djuta uang rakjat”. MH Lukman adalah ayah Tatiana.

Dugaan korupsi yang dimaksud terkait dengan rumah di lahan seluas 2.000 meter persegi di Jalan Gondangdia Lama, Jakarta Pusat, yang disebut akan digunakan oleh Lukman sebagai rumah pribadinya. Rumah itu memiliki tujuh kamar tidur, dilengkapi dengan serambi belakang, serambi muka, lapangan tenis, dan kolam renang. 

Disebutkan, pada 7 September 1965, MH Lukman mengajukan permohonan kepada Menteri Anggaran Negara uang senilai Rp 250 juta untuk pembelian rumah bagi DPR-GR. Uang itu pun digunakan untuk pengosongan rumah di Jalan Gondangdia Lama itu. Setelah menerima uang tersebut dalam bentuk cek, penghuni lamanya pun pergi dan rumah itu direncanakan bakal dibuat sebagai rumah pribadi MH Lukman. 

Kompas/Susana Rita
Tatiana Lukman, seorang eksil yang kini tinggal di Belanda, saat berkunjung ke Kompas, Maret lalu. Ia merupakan anak dari Menteri/Ketua DPR-GR MH Lukman.

Namun, Tatiana mengatakan sama sekali tidak mengetahui tentang rumah di Jalan Gondangdia. Ia bahkan ingin melacak keberadaan rumah yang dimaksudkan di dalam berita itu jika ada alamat lengkapnya. ”Rumah kami itu Jalan Haji Agus Salim Nomor 91,” katanya.

Ia melanjutkan, ”Kalau memang benar ada rumah itu, keluarga saya enggak mesti terlunta-luntalah setelah ayah kami dihilangkan. Enggak tahu kalau misalnya sudah mati, matinya di mana. Kuburannya di mana. Kita enggak ada yang tahu. Adik saya enggak bisa sekolah. Nah, kalau punya rumah 2.000 meter persegi, ya, bisa kami juallah.” 

Ia pun merasakan adanya kejanggalan terkait informasi rumah yang dinilainya tidak lengkap, tanpa nomor rumah dan tak ada kejelasan pemilik awalnya. Ia juga mempertanyakan bagaimana mungkin rumah sudah diserahkan kepada MH Lukman tahun 1963 atau dua tahun sebelum ayahnya dituduh korupsi. 

”Saya anggap itu fitnah kepada MH Lukman,” ujar Tatiana. 

Sebagian lapak pedagang kaki lima di Stasiun Gondangdia, Jakarta, tutup pada Kamis (11/3/2021). Pelonggaran aktivitas belum mendongkrak omzet pedagang kaki lima.

ARSDIP KOMPAS
Suasana di sekitar Stasiun Gondangdia, Jakarta, pada pertengahan Maret 2021.

Ia pun mengisahkan suka duka menjadi anak MH Lukman dan bagaimana kehidupan keluarganya sehari-hari yang harus ditopang oleh ibunya dan saudara orangtuanya meskipun ayahnya kala itu seorang menteri.

Menurut Tatiana, pada saat ayahnya menjadi menteri, keluarganya pindah rumah dari yang semula di Kemayoran ke rumah di Jalan Haji Agus Salim. Perabotan yang mengisi rumah Jalan Haji Agus Salim itu merupakan perabotan yang dibawa dari rumah lama. 

Beberapa bulan setelah menempati rumah tersebut, datanglah petugas dari DPR-GR yang melihat rumah tinggal mereka. Orang tersebut kemudian mengatakan bahwa perabotan yang ada di rumah tersebut tidak cocok untuk seorang menteri dan hendak diganti dengan perabotan baru. Namun, menurut Tatiana, MH Lukman menolak barang-barang inventaris pemerintah tersebut. Meskipun demikian, perabotan baru tetap dikirimkan, seperti kulkas, televisi, dan meja makan. 

”Waktu itu, kami dipanggil, semua anak. Pidato bapak saya, bilang bahwa barang-barang ini semuanya milik rakyat. Bukan milik kita, ini dipinjemin,” kata Tatiana menjelaskan prinsip hidup ayahnya. 

image

Suasana di Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, pada Februari 2021.

Kulkas besar yang ada di rumah itu, menurut Tatiana, tidak pernah digunakan. Sebab, ibunya setiap hari pergi ke pasar untuk belanja, dan belanjaan hari itu selalu habis pada hari itu juga, sehingga kulkas tidak pernah terisi. Bahkan, oleh adiknya, karena selalu kosong, kulkas itu pernah digunakan untuk menyimpan pakaian seperti layaknya lemari sehingga semua pakaian tersebut basah. 

Mengenai makanan, Tatiana yang pada tahun 1965 duduk di bangku SMA mengaku tidak pernah mendapatkan telur utuh, tetapi telur yang diiris-iris. Bahkan, untuk bisa menikmati daging ayam, ibu Tatiana harus menjual celana ayahnya. Cerita semacam itu lazim terjadi meskipun MH Lukman seorang menteri. 

”Ibu saya itu mikirin bagaimana bisa kasih makan semua orang di keluarga ini. Karena apa? Karena ya itu, orang-orang yang menjadi anggota parlemen, menteri, gajinya itu masuk ke partai,” ujarnya.

Seusai SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke China untuk belajar mengenai pertanian. Ketika peristiwa 1965 terjadi, ia masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas di China, dan masih berusia 19 tahun. Ia tidak bisa kembali ke Indonesia karena paspornya dicabut oleh pemerintah, sama seperti nasib mahasiswa lainnya yang sedang menjalani tugas belajar di luar negeri. 

Kawasan Museum Lubang Buaya, Jakarta Timur tampak dari udara yang menjadi saksi bisu peristiwa berdarah pemberontakan PKI pada 30 September 1965. Kompas/Kartono Ryadi (KR)

Kompas/Kartono Ryadi
Kawasan Museum Lubang Buaya, Jakarta Timur, tampak dari udara yang menjadi saksi bisu peristiwa 30 September 1965.

Ia menetap di China hingga menyelesaikan kuliahnya, kemudian pindah ke Kuba untuk melanjutkan studi dan tinggal di negara tersebut selama 12 tahun. Ia lantas memutuskan pindah ke sebuah kota kecil di Belanda mencari suaka dan tinggal di negeri kincir angin tersebut hingga saat ini.

Kemudahan ke Indonesia

Pada era periode kedua pemerintahan Presiden ketujuh RI Joko Widodo, Mahfud MD yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM pernah menemui para eksil di sela-sela kunjungannya di Amsterdam, Belanda. Ketika itu, para eksil dari beberapa negara di Eropa berkumpul untuk menyampaikan aspirasinya kepadanya. 

Dalam pertemuan yang terjadi pada 27 Agustus 2023 tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang mendampingi Mahfud mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerbitkan keputusan menteri mengenai kemudahan layanan keimigrasian bagi eks mahasiswa korban peristiwa 1965 yang ingin kembali ke Indonesia. Pemerintah akan menerbitkan izin tinggal selama lima tahun atau visa untuk melakukan kunjungan berkali-kali (multiple visit) yang diberikan secara cuma-cuma.  

”Pemerintah mau menyampaikan, mari kita perbaiki, kita sembuhkan luka-luka lama. Kami memahami kepahitan Bapak Ibu. Sekarang kami mau mendengar, mau minta semua anak bangsa kembali bergandengan tangan memberikan yang terbaik untuk bangsa,” ujar Yasonna dalam pertemuan di Amsterdam tersebut. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/2/2022). Rapat membahas penjelasan kinerja Kementerian Hukum dan HAM, pandangan fraksi dan pembahasan anggaran.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Februari 2022.

Pertemuan itu dihadiri oleh puluhan mantan mahasiswa yang mendapatkan tugas belajar pada sekitar 1962-1963 dan tidak dapat kembali ke Indonesia karena pemerintah Orde Baru mencabut paspor mereka. Para eksil tersebut berasal dari sejumlah kota di Eropa, seperti Amsterdam, Berlin dan Frankfurt (Jerman), dan Praha. Ada pula yang mengikuti pertemuan secara daring dari Paris (Perancis), Stockholm (Swedia), dan lain-lain.  

Pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden No 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM berat. Presiden Jokowi ketika itu memerintahkan kepada 19 pejabat menteri, Panglima TNI, dan Kepala Polri untuk melaksanakan salah satu rekomendasi tim PPHAM, yaitu memulihkan hak-hak korban.  

Tatiana menyampaikan dirinya menghadiri pertemuan tersebut dan ikut berbicara untuk menyampaikan aspirasinya. Poin yang ia sampaikan adalah mengenai siapa pelaku pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965. Sebab, menjadi aneh apabila pemerintah sudah mengakui adanya pelanggaran HAM berat pada peristiwa itu, tetapi tidak ada pelaku yang dimintai pertanggungjawaban.  

Dalam peristiwa tersebut, Tatiana kehilangan ayahnya, MH Lukman, dan dua pamannya, yang ditangkap kemudian dipenjara di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tanpa diadili. Dari Nusakambangan, kedua pamannya dipindahkan ke Pulau Buru. ”Hidup saya itu berhenti di ’65. Enggak maju. Saya tetap di situ karena saya kepingin tahu apa yang terjadi kepada bapak saya,” kata Tatiana.

Pelurusan sejarah 

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengingatkan, negara masih memiliki utang sejarah bagi para eksil politik korban stigma 1965 yang telah menjadi korban diskriminasi dan kini tersebar di berbagai belahan dunia.

Untuk itu, pengungkapan sejarah dan rehabilitasi bagi korban peristiwa 1965 wajib dilakukan oleh negara demi menjamin hak asasi mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara.  

Pada era pemerintahan Jokowi, negara sebenarnya sudah menawarkan pemberian layanan pengembalian kewarganegaraan melalui Tim Penyelesaian Nonyudisial yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023.

Dua anak Sadjio Mintardjo tengah berziarah ke makam Mintardjo dan istrinya yang berdarah Romania. Kecintaan Mintardjo pada Indonesia ditunjukkan dengan menamai anaknya dengan nama yang sangat Indonesia yakni Harutjagio dan Nurkasih.

Dua anak Sadjio Mintardjo tengah berziarah ke makam Mintardjo dan istrinya yang berdarah Romania. Kecintaan Mintardjo kepada Indonesia ditunjukkan dengan menamai anaknya dengan nama yang sangat Indonesia, yakni Harutjagio dan Nurkasih. Sardjio termasuk eksil akibat peristiwa 1965.

Namun, Kontras menilai, langkah ini hanyalah solusi atas permasalahan administrasi tanpa menyentuh ranah substansi. Bahkan, kebijakan itu dapat menguburkan upaya pengungkapan kebenaran tentang sejarah peristiwa itu sendiri dan rehabilitasi korban.

”Tidak terhitung banyaknya kejadian di mana para korban ’65 dan keluarganya telah diperlakukan dengan sewenang-wenang. Para korban dan keluarganya senantiasa hidup dalam trauma dan ketakutan,” kata Dinda dari Kontras.  

Kontras pun menekan pentingnya pengungkapan kebenaran melalui pelurusan sejarah. Hal itu menjadi esensial dan penting untuk diwujudkan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow