Menanam Ingatan 7 Tahun Teror Bom Surabaya, Menumbuhkan Harapan Peristiwa Iman

Peringatan 7 Tahun Teror Bom Surabaya untuk menanam ingatan dan menumbuhkan harapan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Refleksi, mimbar bebas, doa lintas iman, dan pemberkatan pohon mewarnai rangkaian Peringatan 7 Tahun Teror Bom Surabaya di Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (13/5/2025) malam.

Tahun ini, panitia bersama Peringatan Bom 13 Mei 2018 mengambil tema ”Agama, untuk Apa?” selain menguatkan pesan tahun lalu, yakni menanam ingatan, menumbuhkan harapan.

Sebelum rangkaian acara peringatan di Balai Paroki SMTB, diadakan perayaan ekaristi di gereja yang pada 13 Mei 2018 menjadi salah satu sasaran teror bom. Misa dipersembahkan oleh selebran Vikaris Jenderal Pastoral Keuskupan Surabaya RD Alexius Kurdo Irianto. Tiga imam sebagai konselebran, yakni Sekretaris Uskup Surabaya RP Agustinus Hutrin Tae SVD, Ketua Pastoral Kaderisasi RD Aloysius Widyawan Louis, dan Pastor Kepala Paroki SMTB RD Robertus Tri Budi Widyanto.

Saat bom meledak di pelataran Gereja SMTB 7 tahun lalu, Alexius Kurdo menjabat Pastor Kepala Paroki. Aloysius Widyawan dan Robertus Tri Budi sebagai pastor atau imam rekan. Horor berdarah yang menewaskan enam umat Katolik dari Paroki SMTB itu masih meninggalkan kesedihan, tetapi dilihat, dimaknai, direfleksikan, dan diyakini sebagai peristiwa iman.

”Ada enam korban jiwa yang meninggal di paroki ini. Semua diliputi perasaan sedih yang mendalam. Selama 2 jam, saya duduk di halaman depan dengan tak dapat berkata apa-apa. Namun, di tengah rasa sedih yang sangat mendalam itu, samar-samar dan semakin jelas saya teringat kata-kata Tuhan Yesus agar mengampuni yang berbuat jahat dan berdoa bagi mereka,” ujar Alexius Kurdo dalam homili dan khotbah.

Enam korban jiwa itu ialah Vincentius Evan Hudoyo, Nathanael Ethan Hudoyo, Aloysius Bayu Rendra Wardana, Mayawati, Ciska Eddy Handoko, dan Liem Gwat Nio. Foto keenam umat ini dipajang di mimbar kayu tempat imam selebran membacakan Injil Yohanes 10:22-30 dalam misa senja (vesper) itu.

”Pelan-pelan, saya bangkit dan menuliskan pernyataan atas peristiwa itu. Saya ingat menulis meski kami mengalami duka yang mendalam. Gereja Katolik dengan tulus mengampuni para pelaku teror dan mendoakan para pelaku yang menjadi korban. Tetaplah setia berbuat baik penuh kasih kepada siapa pun, sesuai dengan nilai-nilai Kristiani yang diajarkan Tuhan Yesus. Teruslah berbuat baik. Mari kita memberikan pengampunan yang tulus karena adalah pintu yang terbuka untuk masa depan yang lebih bermartabat bagi bangsa Indonesia,” kata Alexius Kurdo lagi.

Umat memotret foto umat yang menjadi korban seusai misa peringatan untuk korban bom Surabaya di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Selasa (13/5/2025). Pada 2018 ledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela memakan korban jiwa sebanyak 6 umat. Setelah misa diadakan peringatan tujuh tahun bom Surabaya yang dihadiri oleh lintas iman di gereja tersebut. Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)

Kompas/Bahana Patria Gupta
Umat memotret foto umat yang menjadi korban seusai misa peringatan untuk korban bom Surabaya di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (13/5/2025). Pada 2018, ledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela memakan korban jiwa sebanyak enam umat. Setelah misa, diadakan Peringatan Tujuh Tahun Bom Surabaya yang dihadiri oleh lintas iman di gereja tersebut.

Rangkaian teror bom meledak di Surabaya dan Sidoarjo pada 13-14 Mei 2018. Teror pada Minggu (13/5/2018) pagi terjadi di Gereja SMTB, Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, Jalan Arjuno. Minggu malam, bom meledak di Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo. Senin (14/5/2018) pagi, bom meledak di gerbang kantor Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Insiden mengerikan ini mengakibatkan kematian 28 orang dari umat, termasuk 12 pelaku, dan melukai 58 orang dari umat dan keluarga pelaku.

Alexius Kurdo melanjutkan, Paus Fransiskus juga menyampaikan pernyataan tentang teror bom 13 Mei 2018. ”Saya berada dekat dengan orang-orang tercinta di Indonesia, terutama komunitas Kristen di Kota Surabaya yang terpukul keras oleh serangan serius terhadap tempat-tempat ibadah. Bersama-sama kita memohon kepada Tuhan sumber segala kedamaian untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan ini dan menghapus kebencian dan kekerasan dalam hati setiap orang,” ujarnya membacakan pernyataan Paus Fransiskus yang pada 21 April 2025 berpulang.

Alexius Kurdo kembali melanjutkan, sekitar pukul 13.00 WIB di hari teror itu, ia mengunjungi keluarga Bayu. Ia ditemui orangtua korban, istri korban Monica Dewi Andini, dan kedua anak korban. Mereka memohon agar Bayu dimaafkan dari semua kesalahan dan diampuni dari permohonan dosa-dosa, didoakan jiwanya, dan Bayu memang anak Tuhan dan Gereja karena waktunya banyak ada di Gereja.

”Kata-kata itu merupakan kata-kata orang beriman. Meskipun semua orang mengatakan 13 Mei 2018 sebagai tragedi, peristiwa yang menghancurkan, tetapi bagi saya merupakan peristiwa iman,” kata Alexius Kurdo.

Lusa setelah kejadian atau Selasa (15/5/2018), Alexius Kurdo mengunjungi para korban terluka di rumah sakit. Ia bersaksi tiada satu pun korban yang mengungkapkan kebencian, dendam, kemarahan, apalagi menyalahkan agama lain meskipun memang sangat sedih dan kesakitan.

Ia juga mengunjungi Wenny Angelina, ibunda Evan dan Ethan. Iman orangtua korban ini tidak pernah bisa dilupakan. ”Romo, saya sudah bisa mengampuni. Saya sudah tidak menangis lagi. Bunda Maria juga kehilangan Putra-Nya. Kata-kata Ibu Wenny menjadi puncak pengalaman iman,” ujarnya.

Tepatlah tema peringatan tahun ini yang menguatkan ungkapan menanam ingatan, menumbuhkan harapan. Pengampunan membuka pintu harapan selebar-lebarnya. Pengampunan tidak mengubah masa lalu. Namun, pengampunan bisa memungkinkan untuk mengubah masa depan, menjalani kehidupan berbeda bebas dari kemarahan, permusuhan, dan dendam. Pengampunan memungkinkan masa depan lebih cerah, melihat masa lalu dengan cara pandang berbeda meskipun masih membawa jejak air mata.

Dalam rangkaian acara di Balai Paroki SMTB, Pendeta Andri Purnawan dari GKI mengingat saat teror terjadi sedang berkhotbah. Saat mendengar informasi horor berdarah, lututnya gemetar dan seakan ”lumpuh”.

”Waktu itu, teror dilihat sebagai peristiwa agama sedang digugat karena menjadi biang kerok kejahatan kemanusiaan. Namun, teror itu patut dilihat sebagai peristiwa iman,” ujar Andri.

Romo Robertus Tri Budi Widyanto memberikan sambutan dalam peringatan tujuh tahun bom Surabaya di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Selasa (13/5/2025). Pada 2018 ledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela memakan korban jiwa sebanyak 6 umat. Setelah misa diadakan peringatan tujuh tahun bom Surabaya yang dihadiri oleh lintas iman di gereja tersebut. Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)

Kompas/Bahana Patria Gupta
Romo Robertus Tri Budi Widyanto memberikan sambutan dalam Peringatan Tujuh Tahun Bom Surabaya di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Selasa (13/5/2025). Pada 2018, ledakan bom di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela memakan korban jiwa sebanyak enam umat. Setelah misa, diadakan Peringatan Tujuh Tahun Bom Surabaya yang dihadiri oleh lintas iman di gereja tersebut.

Pastor Kepala Paroki SMTB Robertus Tri Budi menyatakan, Gereja Katolik merasa terhormat kembali menjadi tuan rumah peringatan ini. ”Mohon maaf jika ada kekurangan dalam penyambutan dan pelaksanaan acara ini,” ujarnya.

Robertus Tri Budi mengingat, saat insiden itu, ia masih menjadi imam rekan. Bersama Alexius Kurdo, Aloysius Widyaaan, dan umat bahu-membahu menangani dampak teror bom terhadap kehidupan sosial. Setelah dari SMTB, ia pindah tugas ke Madiun dan Surabaya, lalu kembali sebagai Pastor Kepala Paroki sejak Februari 2025.

Menurut Ketua Panitia Bersama Peringatan Bom 13 Mei Wicaksana Isa, acara ini diinisiasi oleh komunitas lintas iman. Antara lain Gusdurian, Masyarakat Setara Jatim, PGI, Roemah Bhinneka, PIC, dan Keuskupan Surabaya. Perwakilan pemuka agama dan komunitas lintas iman turut hadir.

”Acara ini bukan bertujuan untuk mengorek luka, melainkan tidak melupakan sekaligus terus menumbuhkan harapan dan iman,” kata Isa. Komunitas lintas agama akan menanam pohon di Tempat Pemakaman Umum Keputih sebagai simbol menumbuhkan harapan yang dijiwai Pancasila dalam ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow