Mengingat Peristiwa Malari 50 Tahun Lalu: 3 Tuntutan Berakhir Rusuh
Sedikitnya 13 orang tewas dan 770 lainnya ditangkap
Jakarta, IDN Times - Lima puluh tahun lalu, persisnya 15 Januari 1974, meletus peristiwa Malari di Indonesia. Kerusuhan besar-besaran terjadi setelah aksi demonstrasi mahasiswa dari gabungan perguruan tinggi.
Peristiwa Malari dilatarbelakangi dengan rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang saat itu, Tanaka Kakuei, ke Indonesia, serta penentangan terhadap kebijakan investasi asing pemerintahan Orde Baru.
Kerusuhan diakhiri dengan penangkapan dan penembakan demonstran. Sedikitnya 13 orang tewas dan 770 lainnya ditangkap aparat keamanan. Yuk simak sejarah singkat peristiwa Malari!
Baca Juga: Geger Malari 49 Tahun Lalu, Ini Versi Laksamana Sudomo
1. Tiga tuntutan demonstran mendapat represi aparat keamanan
Demonstran yang didominasi mahasiswa tersebut menyampaikan tiga tuntutan, yaitu pemberantasan korupsi, penurunan harga pokok, dan membubarkan lembaga Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto atau yang lebih dikenal “Tritura Baru 1974”.
Mahasiswa mengeklaim aksi berjalan damai di Salemba, Jakarta Pusat. Hingga sore hari, aksi semakin memanas dan ricuh di sepanjang Jalan Sudirman yang diduga terjadi karena provokator.
Menanggapi hal itu, aparat segera menangkap demonstran dan tak segan melakukan penembakan kepada massa. Gerakan ini dijadikan alasan pihak berwenang sebagai tindakan menjatuhkan rezim pemerintah Orde Baru.
Dilansir dari amnesty.id, beberapa tokoh yang ditahan antara lain, politisi senior Partai Sosialis Indonesia Soebadio Sastrosatomo; beberapa akademisi seperti Profesor Sarbini Sumowinata dan Dr Dorodjatun Kuntjorojakti; aktivis HAM dan pengacara Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien; dan beberapa aktivis mahasiswa seperti Hariman Siregar, Sjahrir, dan Aini Chalid.
Sebagian tokoh tersebut baru dibebaskan pada Mei 1976, dan tanpa proses pengadilan saat ditahan.
2. Presiden Soeharto membubarkan Lembaga Asisten Pribadi (Aspri) pasca-peristiwa Malari
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Setelah peristiwa tersebut, tuntutan demonstran terhadap Aspri tercapai. Presiden Soeharto juga mencopot Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Sumitro dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Sutopo Juwono, yang dianggap bertanggung jawab atas jatuhnya korban.
Sementara, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, Hariman Siregar, dinyatakan bersalah oleh pemerintah dan dijatuhi hukuman penjara.
Baca Juga: Seabad Peristiwa Malari, Faisal Basri: Sekarang Lebih Parah Kondisinya
3. Pers mahasiswa dibungkam
Pasca-kerusuhan Malari, pers mahasiswa di Indonesia menghadapi kondisi sulit di bawah rezim Orde Baru. Pemerintah memberlakukan pembatasan terhadap kebebasan pers dengan mendorong media mahasiswa untuk kembali ke kampus.
Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Penerangan RI pada 31 Mei 1980 menetapkan peraturan yang memaksa pers mahasiswa berfokus pada masalah kampus.
Sementara pemerintah melakukan pembredelan terhadap media mahasiswa yang dianggap melanggar aturan atau memberikan pemberitaan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Meskipun terdapat pembatasan, upaya pendidikan dan pelatihan untuk pers mahasiswa dilakukan untuk menjaga eksistensinya di bawah kendali pemerintahan Orde Baru. Organisasi mahasiswa, seperti Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), berperan dalam memberikan dukungan dan advokasi.
Kondisi ini berlanjut hingga awal 1990-an, menciptakan tantangan bagi pers mahasiswa dalam mengekspresikan pandangan kritis. Perubahan signifikan terjadi pada periode Reformasi 1998, di mana kebebasan pers secara keseluruhan mengalami perubahan dengan jatuhnya rezim Orde Baru.
Laporan Maulana Ridhwan Riziq
Baca berita terbaru terkait Pemilu 2024, Pilpres 2024, Pilkada 2024, Pileg 2024 di Gen Z Memilih IDN Times. Jangan lupa sampaikan pertanyaanmu di kanal Tanya Jawab, ada hadiah uang tunai tiap bulan untuk 10 pemenang.
https://www.youtube.com/embed/KI7ONDPAdMA
What's Your Reaction?