Menolak Lupa Peristiwa 27 Juli 1996

Sudah 27 tahun kasus 27 Juli 1996 bersandar dalam memori bangsa ini. Pengakuan pemerintah tentang adanya pelanggaran hak asasi manusia menjadi titik awal membuka tabir peristiwa yang akrab disebut dengan Kudatuli ini.

Peringatan Tragedi 27 Juli 1996 di depan gedung kantor DPP PDI Perjuangan di jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/7/2020).
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Peringatan Tragedi 27 Juli 1996 di depan gedung kantor DPP PDI Perjuangan di jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/7/2020).

Pertengahan Januari lalu pemerintah melalui Presiden Joko Widodo telah mengakui ada pelanggaran hak asasi manusia berat seiring dengan laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau PPHAM yang dibentuk presiden pada September 2022 .

Ada 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi dalam pernyataan tersebut, yaitu Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998, Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti Semanggi 1 dan 2 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003,

”Dengan pikiran jernih dan hati tulus, saya sebagai kepala negara mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Presiden Jokowi, seperti yang diberitakan Kompas (12/1/2023).

Tentu, pengakuan pemerintah ini menjadi pintu bagi terbangunnya harapan publik akan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Meski tidak secara langsung masuk dalam rekomendasi PPHAM, kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik, harus juga menjadi perhatian pemerintah, termasuk peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 yang setiap Juli ini selalu mengingatkan pada publik betapa kasus ini membuat catatan hitam bagi demokrasi di negeri ini.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/3c5EaBIGeQ6puV00s3wXDF3wzic=/1024x1498/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F11%2F3e25ca5d-3271-4eba-aa6b-9277417342d9_png.png

Langkah pemerintah yang mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini juga tidak lepas dari kuatnya persepsi publik soal masih lemahnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Setidaknya ini juga terbaca dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir November 2020.

Jajak pendapat tersebut merekam bagaimana publik masih skeptis terkait perkembangan penegakan hak asasi manusia. Sikap ini ditunjukkan oleh separuh lebih responden (63,3 persen) yang menilai perlindungan pada hak asasi manusia masih berjalan di tempat, bahkan sebagian dari kelompok responden ini menilai perlindungan HAM di Indonesia memburuk (Kompas, 14/12/2020).

Meskipun demikian, upaya pemerintah mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini setidaknya menjadi angin segar bagi upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Tidak terkecuali harapan itu disematkan pada kasus Kerusuhan 27 Juli 1996.

Baca juga : Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara

Kongres PDI

Awal dari peristiwa kelam kerusuhan 27 Juli 1996 berawal dari perebutan kursi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sosok Megawati yang juga anggota DPR ini menjadi darah segar bagi partai untuk mendulang elektoral di pemilu. Pada Kongres PDI di Surabaya 2-6 Desember 1993 Megawati terpilih sebagai ketua umum.

Pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto saat itu cenderung alergi dengan munculnya sosok Megawati. Maka, dengan sokongan pemerintah digelarlah Kongres PDI di Medan yang kemudian menetapkan Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Praktis, partai kemudian terbelah dan tentu pemerintah cenderung mendukung kepemimpinan Soerjadi.

Ujungnya, konflik internal partai pun memanas yang puncaknya memicu peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996, yakni penyerangan massa pendukung Soerjadi ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang dikuasai kubu Megawati yang ketika itu sedang menggelar mimbar bebas.

Bentrok pun terjadi dan merembet diikuti dengan aksi pembakaran di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/vNyI99yvnvBokJ1cDxkthwICqy4=/1024x3236/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F07%2F27%2F20200727-H25-ADI-PDI-P-mumed_1595867600_png.png

Dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996 atau Kudatuli ini diduga menjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang tidak lepas dari campur tangan Pemerintah Orde Baru. Peristiwa ini mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang terluka, dan 23 orang hilang.

Pemerintah kemudian menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara.

Salah satunya Budiman Sudjatmiko yang mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara. Namun, setelah era reformasi lahir, tidak ada bukti yang menguatkan aktivis PRD menjadi penggerak kerusuhan.

Baca juga : Tabir Peristiwa 27 Juli 1996 yang Tak Kunjung Tersibak

Tidak lupa

Setelah berjalan 27 tahun sejak terjadinya peristiwa penyerangan 27 Juli 1996 tersebut, sampai kini kasus ini belum bisa dituntaskan. Bahkan, saat Megawati memegang tampuk kekuasaan pun, kasus Kudatuli masih belum bisa terselesaikan. Namun, setidaknya publik dibuat tidak lupa karena setiap tahun, terutama pada tanggal 27 Juli, selalu diadakan acara peringatan tragedi tersebut.

Para tahun 2004, peringatan peristiwa 27 Juli ini bahkan digelar secara serentak oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Dalam pemberitaan Kompas pada peringatan itu, elite partai meyakini, bagi para kader partai banteng kejadian itu bukan sekadar kenangan, melainkan rekonstruksi ulang para kader dan simpatisan partai dalam peringatan kejadian yang juga dikenal dengan sebutan Sabtu Kelabu tersebut.

Namun, upaya penyelesaian terhadap kasus ini terus selalu digalakkan. Dalam buku Catatan Akhir Tahun 2014 Hukum dan HAM PDI Perjuangan disebutkan, penuntasan kasus kerusuhan 27 Juli 1996 merupakan salah satu agenda prioritas yang ingin dicapai PDI-P lewat Jokowi-Kalla. Selain itu, PDI-P juga mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain.

Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Sabtu (27/7/1996), oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sebelumnya kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati.
KOMPAS/EDDY HASBY

Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Sabtu (27/7/1996), oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sebelumnya kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati.

Pada 27 Juli 2016 saat peringatan 20 tahun tragedi Kudatuli, PDI-P menggelar pertemuan dengan Komnas HAM dan sejumlah penggiat gerakan masyarakat sipil. Pertemuan mendorong upaya penyelesaian kasus 27 Juli 1996 yang masih jalan di tempat.

Pertemuan itu kemudian menyimpulkan, aparat penegak hukum seperti terlihat tidak serius, bahkan kasus ini belum termasuk salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang direkomendasikan Komnas HAM.

Kini, setelah berjalan 27 tahun, harapan penuntasan kasus Kudatuli tetap terjaga sebagai bagian upaya menolak untuk lupa. Seperti halnya pesan Megawati saat peringatan Peristiwa 27 Juli di tahun 2021 lalu bahwa upaya memperingati peristiwa tersebut tidak saja untuk mengkhidmati dan merenungkan peristiwanya, tetapi juga tetap mengharapkan agar keadilan ditegakkan.

Menolak lupa peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 adalah upaya bangsa ini untuk terus merawat harapan akan penuntasan kasus tersebut. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga : Kudatuli, Sebuah Catatan Kelam Demokrasi

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow