Monumen Peristiwa Pelanggaran Berat HAM 1965 Resmi Berdiri di TPU Oesao
Monumen Pelanggaran HAM Berat 1965 dibangun di TPU Oesao, Kabupaten Kupang untuk memberikan pemdidikan kepada masyarakat tentang sejarah.
KUPANG, VICTORYNEWS - Sebuah monumen peristiwa pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1965 resmi berdiri di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Oesao, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT.
Peresmian Monumen Tragedi 1965 berlokasi di TPU Oesao dan Rumah Pelayanan Anak dan Remaja (PAR) Lingkungan Jemaat GMIT Imanuel Oesao meliputi acara pengguntingan pita, pembukaan tirai prasasti, peletakan karangan bunga, dan doa bersama.
Adapun peserta yang hadir terdiri dari perwakilan tim JPIT, para penyintas, pemerintah daerah, Komnas HAM, Komnas Perempuan, MPH PGI, MS GMIT, Majelis Klasis (MK) Kupang Timur, Majelis Jemaat (MJ) Imanuel Oesao, Polres Kupang, LPSK, pemerintah desa dan kecamatan setempat, akademis, LSM, dan lain-lain.
Baca Juga: 70 CGP Angkatan 11 Tampil Luar Biasa Pada Lokakarya Panen Hasil Belajar Program Pendidikan Guru Penggerak
Turut hadir Kegiatan peresmian monumen di Oesao Peresmian tersebut akan dilanjutkan dengan ibadah syukur dan sambutan dari Ketua MS GMIT dan Ketua Komnas HAM RI.
Ketua Pengawas Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), Pendeta Dr Mery Kolimon dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, pada 11 Januari 2023 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengakui adanya pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
Untuk itu, Presiden Jokowi mengeluarkan instruksi kepada 17 lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian untuk berkoordinasi dengan lembaga independen di luar eksekutif demi menyelesaikan seluruh rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Masa Lalu (PPHAM).
Baca Juga: Detik-Detik Dokter Bule Makan Bakso: Terlalu Nikmat!
Terkait itu telah dibentuk Tim PPHAM di tingkat nasional. Presiden juga menyampaikan bahwa pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana.
"Selain itu, pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. Salah satu rekomendasi Tim PPHAM, adalah pembangunan memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan," kata Pendeta Mery.
Berdasarkan penelitian JPIT yang dilakukan sejak 2009, kata Pendeta Mery, terdapat ratusan orang yang ditangkap, disiksa, dan dibunuh secara sewenang-wenang pada periode 1965–1966 di NTT.
Mereka yang tidak dibunuh diharuskan wajib lapor, kerja paksa, serta memikul stigma dan diskriminasi di dalam masyarakat selama bertahun-tahun kemudian.
Baca Juga: Provinsial SVD Timor Pater Yohanes Eduard Menghembuskan Nafas Terakhir Usai Serangan Jantung Saat Main Badminton
Bahkan beberapa dampak masih dirasakan oleh para korban dan penyintas hingga hari ini seperti hubungan kekerabatan hancur, trauma, dan masih banyak korban yang belum mau membuka diri.
What's Your Reaction?