Nezar dan Narasi Sublim tentang Sederet Peristiwa

Di luar kekurangan soal penyusunan, penyajian data, fakta, dan cerita dalam narasi yang artistik membuat buku ini memiliki ”daya mistis” yan

Nezar dan Narasi Sublim tentang Sederet Peristiwa
image

Oleh KHAIRIL MISWAR, Founder POeSA Institute. Buku terakhirnya Islam Mazhab Hamok (Bandar Publishing, 2020).

---

Di luar kekurangan soal penyusunan, penyajian data, fakta, dan cerita dalam narasi yang artistik membuat buku ini memiliki ”daya mistis” yang mampu memikat pembaca dari segala usia.

DI depan rumah, saya tercenung. Kampung-kampung kami kini hilang. Tak ada catatan yang tersisa. Di antara puing-puing rumah, saya mencari foto keluarga dan gambar-gambar yang merekam masa kecil. Tak ada yang bisa ditemukan dari usaha sepanjang petang itu … Bau laut ini tercium sampai ke bekas permukiman warga kota yang porak-poranda itu. Pahit. Saya mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah.” (hal 4-5)

Kutipan di atas adalah bagian terakhir artikel pertama dari dua puluh sembilan artikel yang tersaji dalam buku Sejarah Mati di Kampung Kami karya Nezar Patria, seorang aktivis, jurnalis, dan juga penyintas peristiwa penculikan 1998. Dalam artikel ini, Nezar mencoba memberikan gambaran nyata tentang keperihan para korban bencana gempa tsunami yang menghantam Aceh 19 tahun silam.

Baca Juga: Politik Sebatang Pohon Soekarno di Padang Arafah

Dengan penuh penghayatan –dalam artikelnya yang bertajuk ”Sepotong Jalan Bertabur Azab”– Nezar juga menyajikan narasi yang bukan saja memilukan, tapi mengerikan tentang bagaimana bencana itu menelan sejarah. ”Di Ujong Meuloh, yang turut terseret arus adalah sejarah, dan bahkan jejaknya … misalnya di Lamno dan juga Lambeusoi, terkenal banyak warga Aceh keturunan Portugis … keturunan mereka gampang dikenali. Umumnya berambut pirang dengan bola mata biru … dia dan rekannya sudah menyisir sampai ke Lamno, mencari kalau saja masih ada nona bermata biru yang selamat. Tapi tak seorang pun warga berdarah Portugis itu ditemukan … mereka sudah punah di kawasan itu ….” (hal 8-9)

Sebagai orang yang melihat langsung puing-puing itu dua hari setelah air surut, saya tentu tidak kesulitan menangkap pesan kesedihan dan kengerian yang digambarkan Nezar dalam buku ini. Membaca tulisan Nezar, kenangan-kenangan itu kembali mengambang dan mengapung dalam ingatan saya.

Di bagian lain, sisi kewartawanan seorang Nezar kembali menyeruak ketika dia menceritakan kisah pembebasan Ferry Santoro, juru kamera RCTI yang disandera GAM pada Juni 2003 di Bukit Peudawa, Aceh Timur. ”Tersaruk-saruk saya mengikuti gerak kaki gerilyawan itu. Lampu senter hanya boleh menyala sekilas. Menengok ke belakang, saya melihat bayang-bayang moncong senapan mereka seperti lembing yang diacungkan.” (hal 43-44)

Baca Juga: Media di Masa Infokaliptik

Dalam kondisi menegangkan seperti itu, Nezar masih bisa merekam setiap detail kejadian dengan sangat cermat. Dia menggunakan seluruh indranya untuk menangkap setiap rentetan peristiwa dan fakta secara jernih dan lalu menuliskannya dengan narasi yang sublim sehingga pembaca seolah hadir dan merasakan sendiri kejadian di sana.

Hampir semua tulisannya menggunakan teknik jurnalisme naratif dengan pendekatan sastra atau lebih tepatnya jurnalisme sastrawi. Genre ini diperkenalkan kali pertama oleh Tom Wolfe, seorang wartawan dan novelis ternama yang lahir di Virginia. Jurnalisme sastrawi bukan saja membuat berita memiliki daya pikat, tapi lebih dari itu, memberi kesan mendalam bagi para pembaca.

Dengan gaya penulisan demikian, Nezar bukan saja merekam kejadian-kejadian yang dialami dan ditemuinya di Aceh –tanah kelahirannya– tapi dia nyaris mencatat semua peristiwa penting yang terjadi di republik ini, pra dan pascareformasi, di mana dia sendiri bukan saja bertindak sebagai pencatat, tapi juga pelaku sejarah itu sendiri.

Baca Juga: Sapi Mencium Gunung Es

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow