Pastikan Peristiwa Garut yang Terakhir

Ledakan amunisi di Garut bukanlah peristiwa pertama terkait amunisi afkir. Namun, peristiwa itu mestinya menjadi yang terakhir di Tanah Air.

image

Ledakan amunisi di Garut, Jawa Barat, yang menewaskan 13 orang,  bukanlah peristiwa pertama. Namun, mesti diupayakan tragedi tersebut menjadi peristiwa terakhir.

Ledakan amunisi di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, pada Senin (12/5/2025) sekitar pukul 09.30 itu disebut terjadi saat pemusnahan amunisi afkir atau tidak layak pakai.

Sebelum ledakan terjadi, pada hari itu telah dimusnahkan amunisi afkir di dua lubang dan berjalan lancar. Musibah terjadi saat pemusnahan detonator bahan peledak di lubang ketiga. Saat itu, tiba-tiba terjadi ledakan hingga membuat 13 orang tewas. Mereka terdiri dari empat  anggota TNI dan sembilan warga sipil.   

Catatan Kompas, ledakan  yang terjadi di Garut bukanlah peristiwa pertama terkait amunisi afkir. Gesekan di antara amunisi yang kedaluwarsa disebut juga menyebabkan meledaknya 65 ton amunisi dan bahan peledak kedaluwarsa yang disimpan di Gudang Amunisi Daerah  Kodam Jaya di Ciangsana, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 30 Maret 2024.

Peluru mortir berusia tua diduga juga memicu ledakan di gudang amunisi Korps Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, pada 29 Oktober 1984. Sebanyak 17 orang tewas dan 224 orang lainnya terluka dalam peristiwa ini.

TNI tentu sudah memiliki prosedur yang ketat terkait amunisi afkir, baik dalam penggunaan, penyimpanan, maupun pemusnahannya. Namun, munculnya sejumlah kasus ledakan amunisi afkir, seperti terjadi di Garut, menimbulkan pertanyaan mengenai prosedur tersebut dan penerapannya di lapangan. Adakah bagian dari prosedur itu yang perlu disempurnakan atau disesuaikan dengan perkembangan yang ada? Atau apakah ledakan terjadi karena ada kelalaian dalam pelaksanaan prosedur yang ada?

Pertanyaan juga muncul mengenai keberadaan warga sipil di sekitar lokasi pemusnahan amunisi afkir di Garut, yang sebagian di antaranya menjadi korban dalam peristiwa itu. Penelusuran Kompas, sejumlah orang menuturkan bahwa kerabat mereka yang menjadi korban dalam peristiwa itu bukanlah pemulung besi dan kuningan bekas hasil ledakan amunisi.

Mereka adalah buruh harian yang sudah bertahun-tahun membantu TNI dalam peledakan amunisi afkir dengan upah Rp 150.000 sehari. Bahkan, ada warga yang mengaku selama ini bertugas membuka amunisi sebelum diledakkan meski belum pernah mengikuti pelatihan resmi dan hanya belajar secara otodidak.

Lokasi peledakan amunisi di Desa Sagara juga memicu tanya karena hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari jalan raya. Tempat itu juga tak terlalu jauh dari warung dan perkebunan warga. 

Jawaban atas sejumlah pertanyaan itu semoga dapat ditemukan dalam penyelidikan yang tengah dilakukan TNI AD. Penyelidikan ini tidak semata untuk mencari siapa yang mesti bertanggung jawab dalam musibah tersebut, tetapi juga untuk mencegah agar peristiwa serupa tak terulang  di masa depan. 

Untuk itu, sejumlah rekomendasi yang kelak mungkin dihasilkan dari penyelidikan itu juga mesti dijalankan secara ketat dan  disiplin. Dengan demikian, ledakan amunisi di Garut semoga menjadi peristiwa terakhir di Tanah Air.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow