Pemantau Paniai 2014: 9 Tahun Peristiwa Paniai: Rekayasa Peradilan Tanpa Keadilan!
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 mengecam keras jalannya penegakan hukum atas kasus Paniai 2014 yang dilakukan oleh Negara. Set
The Papua Journal - Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 mengecam keras jalannya penegakan hukum atas kasus Paniai 2014 yang dilakukan oleh Negara. Setelah 9 tahun berlalu, kasus kejahatan HAM yang telah menyebabkan 4 (empat) orang meninggal dunia dan 21 orang luka-luka pada 7-8 Desember 2014 lalu, masih terluntang-lantung tanpa adanya kepastian hukum dan penghukuman bagi para pelaku apalagi keadilan bagi korban.
"Meski kasus ini telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar pada tahun 2022, namun Majelis Hakim Pengadilan HAM Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu serta menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana di dalam dakwaan Jaksa Agung selaku penuntut umum," kata koalisi dalam media rilis di laman resmi KontraS, Kamis (07/12) lalu.
Baca Juga: Benjamin Ladraa dan Sanna Ghotbi: Western Sahara Koloni Terakhir di Benua Afrika
Kecaman ini tentu bukan tanpa alasan, Koalisi menilai bahwa pengadilan HAM atas Kasus Paniai hanya sebuah rekayasa peradilan untuk membungkus “formalitas” penyelesaian yudisial atas kasus Pelanggaran HAM Berat.
"Prosesnya begitu cacat hingga melahirkan pengadilan fiktif yang hanya menyeret satu orang terdakwa. Padahal Jaksa Agung menuntut terdakwa dengan mengenakan Pasal 42 UU 26/2000 berkaitan dengan pertanggungjawaban komando, namun sayangnya terdakwa yang dihadirkan hanya satu orang tanpa ada proses hukum yang bersamaan dengan aktor pelaku lainnya," kata Koalisi lagi.
Semestinya, dalam hal ini Jaksa Agung juga berani untuk mengungkap nama-nama yang patut dimintai pertanggungjawaban atas tindak kejahatan terhadap kemanusiaan atau sekurang-kurangnya yang telah melakukan pembiaran atas Kasus Paniai; mulai dari Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan dan Pelaku Pembiaran sebagaimana ada pada laporan penyelidikan Komnas HAM.
"Bukti lalainya negara dalam menegakan kasus Paniai juga disokong dari ketiadaan ruang partisipasi yang bermakna bagi penyintas dan keluarga korban di setiap prosesnya," ungkap Koalisi.
Padahal, para penyintas dan keluarga korban begitu proaktif dalam memberikan keterangan dan bukti untuk mendukung proses hukum sejak awal kejadian. Namun dalam persidangan, narasi yang muncul adalah narasi yang datang dari aparat dan terduga pelaku. Maka tak heran ketika Pengadilan yang ada, tidak dapat menghadirkan keadilan bagi para penyintas dan keluarga korban.
Baca Juga: Catatan Hari HAM Sedunia, Direktur SKPKC Fransiskan Sebut Dua Kondisi Mengerikan di Papua
"Keadaan ini kemudian diperparah dengan sikap negara yang justru semakin merendahkan martabat korban dengan tidak menyebut bahwa Kasus Paniai adalah bagian dari Kasus Pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh Presiden Jokowi pada pidatonya di Istana Negara pada 11 Januari 2023 lalu," kata Koalisi lagi.
Sebaliknya, Presiden Jokowi justru seakan melegitimasi kinerja buruk Jaksa Agung dengan menyinggung 4 (empat) pengadilan HAM, satu diantaranya Kasus Paniai, membebaskan terdakwa karena kurangnya bukti.
Padahal, Presiden seharusnya mengevaluasi kinerja Jaksa Agung karena gagal menjamin kepastian pertanggungjawaban hukum terlaksana utamanya dalam mengumpulkan bukti yang cukup untuk dibuktikan dalam persidangan. Sehingga para pelaku kejahatan bertanggung jawab secara pidana dan tidak melenggang bebas.
Lebih lanjut, kasus Paniai ini tengah dibawa ke tingkat kasasi, namun prosesnya mandek lantaran belum terdapat calon hakim ad hoc HAM tingkat kasasi yang kompeten dan memenuhi syarat untuk menyidangkan kasus Paniai pasca satu tahun putusan di tingkat pertama.
Dalam satu tahun terakhir, Komisi Yudisial telah melakukan proses seleksi calon hakim ad hoc HAM pada tingkat Mahkamah Agung sebanyak dua kali. Namun, pada prosesnya calon hakim ini gugur saat fit and proper test di Komisi III DPR RI.
What's Your Reaction?