Pemberkatan Gereja Ayawasi: Dari Peristiwa Sejarah Hingga Pemaknaannya (2/4)
Hemat saya peristiwa sejarah di Paroki Santo Yosep Ayawasi, 29 Juni 2023, pada pesta Santo Petrus dan Paulus memiliki beberapa makna.
Oleh: Athanasius Bame, OSA*
Memaknai peristiwa sejarah iman dan peradaban
Hemat saya peristiwa sejarah di Paroki Santo Yosep Ayawasi, 29 Juni 2023, pada pesta Santo Petrus dan Paulus memiliki beberapa makna.
• Lautan manusia di Ayawasi karena pesta umat, pesta rakyat: Mari kita meriahkan bersama
Kampung Ayawasi—pusat paroki, tiba-tiba bergemuruh oleh lautan manusia, 29 Juni 2023. Bahkan beberapa hari sebelumnya suasana ini sudah nampak. Banyak umat dan masyarakat lainnya berdatangan dari segala penjuru. Ada yang menggunakan mobil dari Sorong atau langsung mengambil jalan darat dari Manokwari, Bintuni, dan Tambrauw. Warga paroki tampak sangat antusias dalam menyambut momen spesial ini. Para tamu undangan khusus telah disiapkan tempat untuk menginap atau beristirahat.
Umat dan masyarakat juga berpartisipasi pada persiapan dan pelaksanaan acara. Mereka bekerja menurut pembagian tugas dari panitia peresmian, seperti kendaraan-transportasi, kelompok masak, kayu bakar, air, panggung dansa traditional (taro), tarian, keamanan, koor, misdinar, dan sebagainya.
Menjelang hari pelaksanaannya warga dan umat menyambut Duta Vatikan bersama rombongan. Diawali dengan tarian traditional mama Aifat, lalu diikuti acara seromonial lainnya. Mama-mama menyambut duta Vatikan, dilanjutkan dengan sambutan tarian dansa traditional para bapak yang mengantar rombongan tamu ke taro. Dilanjutkan dengan acara-acara berikutnya. Banyak orang juga terlibat saat misa pemberkataan.
Misa pemberkataan diawali dengan perarakan dari rumah bapak Ferdinandus Taa dengan pengawalan aparat keamanan. Misa pemberkataan berjalan lancar. Misa ini dimeriahkan oleh paduan suara yang telah mempersiapkan diri jauh hari sebelumnya.
Suara-suara peserta koor menambah keluhuran dan keistimewaan misa pemberkataan gereja. Juga, makanan-minuman yang disajikan oleh panitia memberikan kekuatan bagi mereka. Singkatnya banyak pihak terlibat—langsung dan tidak langsung, sehingga peristiwa sakral ini sukses.
Saya yakin mereka semua tanpa syarat—tanpa diminta, dan tanpa dibayar—terlibat dengan cara masing-masing, karena merasa memiliki acara ini. Mereka berkorban demi mewujudkan kesukesan acara yang istimewa ini. Mereka lebih memikirkan dan mengutamakan peristiwa iman daripada urusan peribadi. Luar biasa. Rae wisau mkah mait.
• Partsipasi aktif umat Katolik separoki membangun gereja fisik yang besar dan megah karena mereka sebagai tubuh mistik Gereja terlebih dahulu dibangun oleh para misionaris
Gereja fisik yang megah dan kuat ini dibangun atas dasar Gereja hidup (umat beriman) yang memiliki dasar iman Katolik yang kokoh. Umat ini terlebih dahulu dibangun oleh para misionaris, baik misionaris religius (Augustinian dan Fransiskan), maupun misonaris awam (guru, katekis, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, polisi, tentara katolik, dll). Umat membangun gereja fisik ini karena mereka (tubuh mistik Gereja) terlebih dahulu dibangun oleh para misionaris lewat pelbagai sarana pendidikan dan pembinaan, serta pelayanan-pelayanan lainnya oleh Gereja dan pemerintah.
Prinsip sederhana take and give atau receive and give back berlaku di sini. Anda memberi supaya Anda mendapat; menerima karena memberi. Ini sejalan dengan sistem relasi kain timur.
Keterlibatan umat separoki dan lintas paroki tentu terinspirasi dari pandangan, bahwa semakin banyak Anda menerima semakin besar dan dalam kewajibanmu untuk memberi atau membalas. Demikian juga dengan prinsip semakin banyak Anda memberi dan membantu, semakin banyak Anda akan mendapat. Sebaliknya semakin banyak Anda menyimpan atau menahan (kain timur) semakin kecil keuntungan yang anda dapatkan.
Hemat saya, keterlibatan orang-orang Maybrat (separoki, lintas paroki dan kabupaten) merupakan sebuah ungkapan terima kasih dan syukur atas kebaikan Gereja lokal dan para misionaris—yang meletakkan dasar iman dan pembangunan manusia. Mereka tahu diri dan tahu berterima kasih. Mereka menyadari bahwa mereka pernah diperhatikan, didengarkan, dibantu, dibayai, diselamatkan, disekolahkan, dididik dan dibina oleh para misionaris.
Orang Maybrat atau Tambrauw Katolik menyadari bahwa mereka lahir dan berkembang di bawah dan dalam rahim Gereja Katolik. Mereka merasa bersyukur karena mereka atau orang tua mereka pernah naik pesawat gratis, sekolah gratis dan kembali dipekerjakan. Sekarang mereka memberi lewat cara ini. Maka 11 miliar lebih untuk pembangunan gereja paroki dan 4 miliar lebih (sama dengan 40% biaya pembangunan gereja) untuk panitia penyelenggara misi pemberkatan bukan menjadi masalah besar.
• Misionaris dan bangunan fisik: “Kita bangun manusia dulu, baru bangun bangunan” (A.Tromp) dan OAP mesti menjadi misionaris lokal bagi dunia mereka
Dari refleksi pertama kita beranjak ke makna kedua. Refleksi kedua ini mengarah bagaimana orang-orang Papua atau Gereja lokal sekarang menjadi misionaris lokal bagi dunianya.
Pertanyaan-pertanyaan dasar: Mengapa para misionaris Agustinian (secara khusus) sejak awal tidak membangun gereja fisik yang megah di wilayah keuskupan? Mengapa tidak ada karya-karya besar milik Augustinian seperti sekolah/universitas, rumah retret, dan usaha-usaha lain di Kepala Burung? Mengapa para misonaris Augustinian tidak membeli lahan biara yang besar? Jawaban sederhananya, yakni misi kedatangan para Augustinian untuk membangun Gereja lokal secara total akan dilanjutkan oleh Gereja lokal itu sendiri.
Ordo Augustinian tidak memiliki harta benda yang cukup berarti di wilayah keuskupan, karena mereka memberi semuanya kepada Gerejal lokal. Dan memang demikian tujuan awalnya.
Awalnya pikiran dan fokus para Augustinian sangat jelas, yakni membangun Gereja lokal, bukan membangun dan mengembangkan karya-karya ordo. Salah satu realisasi dari misi itu ialah mereka harus membangun manusia Papua lewat pendidikan, agar orang-orang Papua itu kemudian membangun diri dan dunianya.
Oleh karena itu, saya melihat bahwa mereka memegang prinsip, bahwa wang (uang) tidak bikin wang (uang), tetapi uang harus bikin manusia. Dan bangun manusia dahulu baru bangun bangunan. Mereka hanya menjadi fasilitator pembangunan manusia, sehingga manusia-manusia itulah yang akan membangun dunianya.
Mereka harus menggunakan sumber-sumber yang diperoleh untuk mempersiapkan dan membangun manusia sebagai aktor-aktor perubahan sosial dan budaya terlebih dahulu, supaya orang-orang itulah yang kemudian mengubah dan mentransfromasi dunia mereka. Secara singkat, orang-orang Papua kini menjadi misionaris lokal bagi dunianya.
Pemikiran tentang membangun manusia lalu manusia itu yang membangunan dunianya menjadi kenyataan. Maka tanpa ragu saya tegaskan, bahwa pemikiran dan aktualisasi dari pemikiran ini dapat terwujud.
Setelah tiga puluh atau empat puluh tahun hingga lima puluh tahun evangelisasi, orang Katolik atau Protestan asli Papua saat ini membangun dunianya. Misalnya, belakangan kita memperhatikan hal itu di beberapa kabupaten di Kepala Burung (Maybrat, Tambrauw, Sorong, Teluk Bintuni, dan sebagainya).
Di bawah kepemimpian Gabriel Assem di Tambarauw dan Johny Kamuru di Sorong, perhatian terhadap Gereja Katolik dan masyarakat asli Papua sangat besar dan mendalam. Hal ini juga terjadi di Maybrat—banyak alumni sekolah Katolik (baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup) yang memainkan peran penting dalam pembangun fisik dan iman umat dan masyarakat Maybrat.
Bukan hanya mereka yang berada di Kepala Burung saja, beberapa alumni sekolah Katolik dan beasiswa keuskupan kini menjabat di pelbagai bidang di wilayah Jayapura, Timika, Manokwari, dll. Mereka kini menjadi pembangun atau misionaris lokal bagi dunianya.
Dari gereja fisik menuju Gereja hidup (Umat Allah)
Gereja fisik yang megah sudah hadir di tengah-tengah umat yang masih hidup dalam rumah-rumah sederhana dan sedang memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya. Tugas selanjutnya yang paling berat ialah membangun Gereja hidup dalam aspek pengembangan iman umat, katekese, pelayanan pastoral, kunjungan pastoral, pelayanan liturgis, perhatian terhadap pelayanan pendidikan di kampung-kampung, pelayanan ketegorial, perhatian terhadap karya karitatif dan advokasi.
Misalnya sikap dan tindakan konkret Gereja dalam mengadvokasi para pengungsi dan keberpihakan terhadap warga negara dan warga Gereja yang wilayahnya diduduki secara sepihak oleh aparat keamanan.
Demikian juga perhatian terhadap pelayanan pendidikan di tingkat dasar di beberapa sekolah ditingkatkan, supaya sekolah-sekolah Katolik tidak menjadi ‘sekolah dasar papan nama’. Polik misi juga mesti ditingkatkan sehingga orang sakit mudah mengakses pelayanan kesehatan. Bersambung. (*)
*Penulis adalah biarawan Katolik dan imam Agustinian, tinggal di Filipina
Oleh: Athanasius Bame OSA* Tanggal 29 Juni 2023 diadakan pemberkatan gedung Gereja Paroki St Yosep…
Oleh: Jhon Yafet Wabia Tambrauw adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat Daya. Pusat…
Oleh: Kurniawan Patma* “Death, taxes and childbirth! There’s never any convenient time for any of…
Oleh: Rantika Putri* Rational choice adalah pendekatan dalam ilmu politik dan ekonomi yang mencoba menjelaskan…
What's Your Reaction?