Peristiwa Langka Pernikahan 4 Putra Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Depan Jenazah Ayahanda, Begini Prosesinya
Kejadian langka terjadi ketika empat putra Sri Sultan Hamengkubuwono IX menikah di hadapan jenazahnya. Begini kisahnya yang terjadi 7 Maret 1988.
TEMPO.CO, Jakarta - Pada Jumat, 7 Oktober 1988, empat putra Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Pakuningrat (putra ke-12), GBPH Yudaningrat (putra ke-13), GBPH Condroningrat (putra ke-14), dan GBPH Cakraningrat (putra ke-15) yang masing-masing menggandeng calon istri menikah sekaligus di hadapan jenazah ayah mereka. Pernikahan tersebut terjadi di Bangsal Kencono yang biasanya digunakan sebagai tempat membahas urusan pemerintahan.
Pada pernikahan yang tidak biasa tersebut, Pakuningrat (Bandara Raden Mas atau B.R.M. Anindito) menikahi Nurita Afridiana, Yudaningrat (B.R.M. Sulaksmono) menikahi Endang Hermaningrum, Condroningrat (B.R.M. Abiromo) berjodoh dengan Hery Iswanti, dan Cakraningrat (B.R.M. Prasasto) mempersunting Laksmi Indra Suhardjono.
Awalnya, keempat pasangan pengantin tersebut akan menikah pada 5 November. Namun, sang ayah meninggal dunia sehingga pernikahan terpaksa dimajukan. Sebab, jika pernikahan tidak dimajukan, mereka harus menunggu 1.000 hari lagi untuk menikah. Sebagian orang Jawa memiliki pantangan untuk menikahkan anak sebelum kematian dalam keluarga berlalu 3 tahun.
Pada acara pernikahan tidak biasa itu, jenazah Sultan terbaring dalam peti mati berselimutkan bendera Merah Putih membujur ke utara. Lalu, penghulu keraton, Kiai K.R.T. H.M. Wardan Diponingrat beriringan dengan 7 pegawai KUA menuju bangsal. Setelah mengatur sembah, keempat pasang calon pengantin tersebut juga naik ke bangsal.
Mereka diiringi seorang wali dan abdi yang membawa Al-Quran dan sesisir pisang sanggan sebagai lambang agar pasangan menjadi pilar keluarga baik. Lima langkah di timur jenazah, keempat calon pengantin pria duduk bersila dan pasangan mereka bersimpuh di lantai.
Pernikahan yang hanya diisi keheningan dan warna gelap itu dimulai pukul 10.30 WIB. Para wali pengantin putri pun menghadap penghulu dan menyerahkan anak mereka untuk dinikahkan. Setelah itu, para pengantin pria pun bergiliran memegang keris pusaka.
"Keris itu sebagai saksi pengganti Sultan," ucap Ki Djuru Permana, penasihat spiritual keraton, seperti dikutip Majalah Tempo pada 15 Oktober 1988.
Menurut Raden Ngabdul Badri, Wedana Punakawan Haji Keraton, keris tersebut merupakan keris Joko Piturun sebagai lambang kekuasaan Sultan. Namun, pihak keluarga meragukannya.
Menurut salah satu pegawai KUA, Djuhari, pernikahan tersebut menjadi pengalaman sulit dilupakan karena keraton sedang berduka. Kyai Guntur Sari, gamelan yang selalu menandai pesta keraton tidak keluar dari Bangsal Srimanganti.
Selain itu, juru rias pengantin, Nyonya Tinuk Rifki, pemilik salon Titi Sari Yogyakarta juga berkonsultasi dahulu ketika mendandani pengantin wanita. Setelah konsultasi, semua sepakat pengantin putri hanya "dikerik" di bagian kening dan belakang kepala, tanpa perhiasan apa pun dan mengenakan baju hitam dengan kain Truntum dasar hitam.
Kesederhanaan bukan hal asing bagi keluarga Sultan Hamengkubuwono IX. Pasalnya, kesederhanaan juga terlihat dari pengantin perempuan yang tiga di antaranya tidak berdarah biru. Di sisi lain, resepsi keempat pasangan pengantin tersebut kala itu juga tidak diungkapkan secara besar-besaran kepada publik. Bahkan, menurut Cakradinigrat, resepsi juga bisa jadi tidak diadakan karena tergantung rapat keluarga.
RACHEL FARAHDIBA R | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: 35 Tahun Tiada Sultan Hamengkubuwono IX, Kilas Balik Republik Indonesia Kehilangan Tokoh Besar Itu
What's Your Reaction?