Tiga Pelajaran Penting dari Peristiwa Bencana Alam
Banyak orang menyebutkan memaknai bencana alam sebagai musibah
Beberapa waktu belakangan ini banyak sekali terjadi bencana alam, seperti banjir, longsor, dan angin kencang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 1.942 peristiwa bencana alam terjadi sejak 1 Januari hingga 15 Desember 2024, yang terjadi hampir ke seluruh Indonesia.
Selama periode itu, teridentifikasi sebanyak 469 orang meninggal dunia, 58 orang dinyatakan hilang dan 1.157 orang harus mendapatkan perawatan medis. Lebih dari 61.554 rumah rusak, dan 10.821 rumah di antaranya rusak berat, bahkan ada yang rata dengan tanah.
Banyak orang menyebutkan memaknai bencana alam sebagai musibah. Hal tersebut sangat wajar karena peristiwa-peristiwa menyedihkan yang mengiringinya, seperti kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal, mengalami luka-luka, hingga kehidupan yang mendadak berubah menjadi serba-sulit, kekurangan makanan, air bersih, tempat tinggal, dan sebagainya.
Sejatinya bencana alam bersifat relatif, bisa bermakna musibah, bisa juga justru merupakan anugerah (karunia dari Allah). Hal itu sangat tergantung pada diri seseorang dalam menyikapi bencana. Bencana alam bagi tiap orang memiliki sudut pandang berbeda-beda, bisa jadi adalah musibah bagi satu orang, namun anugerah bagi orang lainnya—tergantung cara dia merespons peristiwa itu.
Dengan bahasa lain, bencana adalah peristiwa yang mengandung pelajaran, bukan hanya bagi yang tertimpa bencana tapi juga yang tidak terkena bencana. Lalu kapan bencana alam itu menjadi musibah dan kapan ia merupakan anugerah?
Dilansir dari NU Online, setidaknya tiga pelajaran penting dalam peristiwa bencana alam. Pertama, muhasabah atau atau introspeksi diri. Kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri, apa saja kekurangan dan kesalahan yang perlu dibenahi. Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah fenomena yang tidak bisa dikendalikan manusia. Ini bukti kelemahan manusia, dan seyogianya bencana alam menyadarkan mereka untuk kian merendah di hadapan Allah swt.
Bila bencana itu disadari akibat kesalahan manusia, maka seharusnya bencana alam berdampak pada perubahan sikap kita menjadi lebih baik. Muhasabah ini penting dilakukan baik oleh mereka yang menjadi korban maupun bukan korban.
Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkhutbah:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا فَإِنَّهُ أَهْوَنَ لِحِسَابِكُمْ
Artinya: Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesunguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).
Pesan dari pidato Sayyidina Umar sangat jelas bahwa kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri sendiri, bukan mengevaluasi orang lain. Bagi korban, bencana adalah fase penting memeriksa dosa-dosa sendiri, tingkat penghambaan kepada Allah, pergaulan sosial, dan sikap terhadap lingkungan alam selama ini.
Bagi mereka yang bukan korban dan di luar lokasi bencana, hal ini adalah peringatan bagi diri sendiri untuk kian menjaga perilaku dan sifatnya baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sekitar. Jangan sampai kita yang kebetulan tak menjadi korban menuding bahwa bencana alam yang menimpa saudara-saudaranya di lokasi tertentu merupakan azab atas dosa-dosanya.
Sikap yang demikian tak hanya bertentangan dengan prinsip muhâsabatun nafsi (evaluasi diri sendiri, bukan orang lain), tapi juga dapat mendorong mudarat baru karena bisa menyinggung perasaan para korban dan menunjukkan tidak adanya empati kepada korban.
Pelajaran kedua adalah rasa syukur dan optimisme. Sikap ini berdasar pada hadits Rasulullah:
عن عائِشَةَ قالتْ قالَ رسولُ الله ﷺ لا يُصِيبُ المُؤمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إلاّ رَفَعَهُ الله بِهَا دَرَجَةً وَحَطّ عَنْهُ بهاخَطِيئَةً
Artinya: Dari 'Aisyah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan" (HR Tirmidzi).
Dalam konteks ini, bersyukur bagi para korban adalah ridha atas bencana yang menimpanya dan menilai penderitaan saat ini adalah cara Allah melebur dosa-dosanya dan menaikkan kualitas kepribadiannya. Sebagaimana ujian akhir semester bagi siswa sekolah untuk naik ke semester berikutnya, bencana merupakan ujian bagi para korban untuk bisa mendaki pada derajat yang lebih mulia.
Hadits tersebut merupakan cara Rasulullah memberikan optimisme kepada umatnya agar tidak larut secara terus-menerus dalam kesedihan, banyak mengeluh, apalagi sampai putus asa. Dalam penderitaan, kita mesti husnudhan (berprasangka baik) bahwa ada maksud khusus dari Allah untuk meningkatkan mutu diri kita, baik dalam ibadah (menghamba kepada Allah) maupun muamalah (hubungan sosial).
Bagi mereka yang tak terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada karunia keamanan dari Allah kepada dirinya, sehingga tidak hanya bisa muhâsabah atas peristiwa yang disaksikannya tapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman dibanding saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Mereka juga harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan optimis menatap perjalanan ke depan.
Pelajaran ketiga adalah tentang ladang amal ibadah pascabencana. Jika bencana adalah ujian kenaikan derajat, maka kenaikan tersebut hanya terjadi bila yang bersangkutan benar-benar lulus dari ujian. Bencana alam merupakan wasilah bagi para korban yang isinya menuntut manusia untuk sabar, ikhtiar, tawakal, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah swt. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita kembali.
Kualitas kepribadian mereka sebagai hamba meningkat manakala “materi ujian” dapat dilalui dengan baik dan benar. Bagi mereka yang tidak menjadi korban, bencana alam adalah ujian untuk menunjukkan kepedulian kemanusiaan atas mereka yang sedang ditimpa kesulitan. Pertolongan berupa tenaga, pikiran, dana, harta benda, makanan, doa, dan lain sebagainya penting disalurkan.
Syukur atas keselamatan diri kita dari bencana bisa ditunjukkan dengan kesediaan berbagi kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan. Bisa dengan menjadi relawan, donatur bantuan, atau keterlibatan lainnya yang dapat meringankan beban para korban.
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
Artinya: Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya (HR Muslim).
Apabila kita mendengar kata hikmah di balik bencana, maka itu artinya terkait dengan sikap-sikap bijak kita dalam menyikapi bencana. Karena kata hikmah bermakna kebijaksanaan. Semoga bencana alam yang terjadi dapat tetap mengokohkan kadar keimanan kita kepada Allah swt.
What's Your Reaction?