Dikunjungi DPRD DIY, Rumah Djiauw Kie Siong Simpan Sejarah Peristiwa Rengasdengklok
DPRD DIY punya tugas besar tidak semata-mata menyusun APBD dan Perda tetapi juga punya tanggung jawab sejarah nguri-uri semangat pendiri bangsa.
DPRD DIY punya tugas besar tidak semata-mata menyusun APBD dan Perda tetapi juga punya tanggung jawab sejarah nguri-uri semangat pendiri bangsa.
KORANBERNAS.ID, KARAWANG – Bangunan dengan arsitektur Jawa dan China itu masih terawat, bersih dan rapi. Meski sudah berumur 104 tahun, beberapa bagian dan ornamen tetap asli. Beberapa bagian sudah direnovasi namun tetap mempertahankan ciri khasnya.
Itulah Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong di Dusun Kalijaya I RT 001/RW 009 Desa Rengasdengklok Utara Kabupaten Karawang Jawa Barat. Lantainya terbuat dari bata merah seperti apa adanya sejak didirikan sekitar tahun 1920-an.
Pada ruang tamu terpajang foto Djiauw Kie Siong. Dia adalah petani keturunan Tionghoa, salah seorang tokoh yang berjasa di balik peristiwa Rengasdengklok menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Sebagai bagian dari penelusuran dan rangkaian kegiatan napak tilas sejarah Pancasila, jajaran pimpinan dan anggota Komisi A DPRD DIY bersama Forum Wartawan DPRD DIY serta Sekretariat Dewan, Jumat (6/12/2024), berkunjung ke Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong.
Suasana Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok Karawang Jawa Barat. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Rombongan yang juga didampingi Wakil Ketua DPRD DIY Umaruddin Masdar, Sekretaris DPRD DIY Imam Pratanadi serta Humas dan Protokol, Marlina Handayani, diterima Janto Djoewari bersama istrinya, Lanny (Djiauw Kiang Lin dan Liauw Tjing Lan) sebagai generasi ketiga Djiauw Kie Siong.
Janto, pria berusia 75 tahun itu, menceritakan seluk beluk rumah yang kini ditinggalinya. Lokasi rumah saat ini sudah bergeser beberapa meter untuk menghindari abrasi Sungai Citarum.
Dikisahkan, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa oleh para pemuda (Sukarni, Singgih dkk) dalam rangka menuntut agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan segera.
Di rumah itu juga naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia mulai dibahas dan dipersiapkan. Kedua "Bapak Bangsa' di rumah itu ditemani oleh Sukarni, Yusuf Sukanto, dr Sutjipto, Ibu Fatmawati serta Guntur Soekarnoputra yang masih bayi.
Umaruddin Masdar dan Eko Suwanto mendengarkan penjelasan dari pemilik Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Pada Kamis sore menjelang Bendera Merah Putih dikibarkan dan Naskah Proklamasi akan dibacakan, tiba-tiba datanglah Ahmad Soebardjo dkk. Dia mengundang Bung Karno dan kawan-kawan berangkat ke Jakarta untuk membacakan Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Akhirnya, proklamasi Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945. “17 itu harga mati. Kalau nggak salah 17 rakaat ya, tanggal bagus, bulan bagus bulan suci (Ramadan) hari Jumat Kliwon,” kata Janto Djoewari.
Waktu itu, Djiauw Kie Siong tergolong berani meminjamkan rumahnya padahal sangat berisiko. Djiauw kemudian mewariskan rumah bekas persinggahan Bapak Bangsa itu kepada anak dan keturunannya untuk dijaga dan dirawat.
Sebelum meninggal dunia pada tahun 1964 dalam usia 84 tahun, Djiauw berwasiat agar keluarga yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Bahkan, harus rela setiap hari menunggui rumah demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Janto Djoewari bersama istrinya, Lanny, pemilik Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong, Rengasdengklok. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Saat mendampingi rombongan DPRD DIY, Obar Subarja dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Karawang menegaskan peristiwa kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok sama sekali tidak ada dokumen foto.
Sedangkan meja dan kursi yang asli dari Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong saat ini tersimpan di Museum Perjuangan Yogyakarta.
Subarja juga menegaskan Bung Karno tidak menginap di Rengasdengklok karena hari itu sekitar pukul 20:00 harus kembali ke Jakarta. Kebetulan, ada seorang tentara PETA yang namanya mirip Soekarno. Itulah sosok yang menginap di Rengasdengklok.
Menurut Subarja, kedatangan Bung Karno disambut dengan upacara militer oleh tentara PETA di markas yang kini pada lokasi tersebut dibangun Monumen Kebulatan Tekad. Di tempat itu pula Soekarno-Hatta melakukan penghormatan pertama kali Merah Putih dalam sebuah upacara militer.
Monumen Kebulatan Tekad, Rengasdengklok Karawang. (sholihul hadi/koranbernas.id)
“Mustahil Bung Karno mau dibawa ke Rengasdengklok kalau yang bawa bukan tentara PETA. Kebetulan Singgih itu pernah menjadi pelatih Bung Karno di PETA,” kata Subarja.
Termasuk pengamanan kedatangan Soekarno hanya dilakukan oleh sekitar 30 tentara PETA. Karena kekurangan personel mengingat sebagian tentara PETA disebar berjaga di pos-pos yang lain, akhirnya para pemuda Rengasdengklok berganti baju tentara.
“Dari 150 tentara PETA yang stand by 30 orang maka pada tanggal 16 Agustus itu ada juga PETA dadakan di Rengasdengklok ini,” ungkapnya.
Wakil Ketua DPRD DIY, Umaruddin Masdar, menyampaikan kunjungan ke Rengasdengklok dalam rangka napak tilas perjuangan Bung Karno untuk menelusuri jejak yang sangat kompleks.
Bangsa besar
“Di sini tempat bersejarah, pertama kali muncul Proklamasi harga mati meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Perjuangan para pemimpin itu yang membuat kita menjadi bangsa besar seperti sekarang ini, dengan Pancasila sebagai ideologi yang menyatukan kita sebagai bangsa,” ujarnya.
Menurut dia, sudah semestinya generasi bangsa ini belajar dari Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong agar pemahaman sejarah mengenai Pancasila dan Kemerdekaan menjadi lebih utuh sehingga lebih mencintai bangsa ini.
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, menambahkan kunjungan kali ini dimaksudkan untuk belajar dari semangat juang dan pengorbanan para pendiri bangsa.
Meski Bung Karno dan Bung Hatta kurang dari 24 jam di Rengasdengklok namun peristiwa tersebut sangat penting bagi sejarah bangsa Indonesia. "Bagaimana dedikasi, pengorbanan, semangat juang dan daya juang yang sangat kuat dari para pendiri bangsa," kata dia.
Tokoh sejarah
Dari kunjungan kali ini, Eko Suwanto mengajak Pemda DIY untuk selalu menjaga dan melestarikan museum-museum bersejarah di DIY. “Yogyakarta memiliki banyak tempat dan tokoh sejarah yang ikut memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Ada enam orang anggota BPUPKI dari Yogyakarta, ketuanya Dokter Radjiman Wedyodiningrat dari Sleman,” jelasnya.
Bersama Gubernur DIY, lanjut dia, DPRD DIY punya tugas besar tidak semata-mata menyusun APBD dan Perda tetapi juga punya tanggung jawab sejarah nguri-uri semangat pendiri bangsa.
Inilah yang penting untuk dikhidmati oleh generasi muda bahwa kepentingan bangsa jauh di atas segalanya. “Hari ini anak-anak muda dihadapkan digitalisasi dan globalisasi harus belajar betul pada tokoh-tokoh perjuangan bangsa,” katanya. (*)
What's Your Reaction?