Hari Ketiga Aksi, Warga Terdampak Banjir Masih Disambut Represif
“Kami Diseret, Dicekik, Diusir” PEMBARUAN.ID – Di tengah...

“Kami Diseret, Dicekik, Diusir”
PEMBARUAN.ID – Di tengah terik yang menyengat, delapan warga berdiri tegak di depan Gedung Merah, kantor Pemerintah Kota Bandarlampung. Mereka membawa poster sederhana namun menggugah: “Eva Gagal Atasi Banjir”, “Nyawa Warga Bukan Statistik”, “Kami Menuntut Keadilan.”
Sudah tiga hari berturut-turut mereka hadir. Tiga hari menagih empati dari pemimpin kota yang seharusnya berdiri paling depan dalam menghadapi krisis banjir. Namun yang mereka terima justru perlakuan represif yang mengoyak nurani.
Dipukul, Diseret, Dilukai
Derry Nugraha, salah satu peserta aksi, masih terlihat gemetar saat menceritakan apa yang dialaminya. “Kami dicekik, ditendang, diseret keluar,” katanya sambil menunjukkan memar di lengannya.
“Kami hanya ingin bicara tentang banjir, tentang warga yang meninggal, tapi malah diperlakukan seperti pelaku kriminal.”
Kristin, peserta aksi perempuan, tak kuasa menahan air mata. “Tangan saya dicakar. Teman saya diseret sampai jilbabnya terlepas. Kami perempuan, tapi tak ada sedikit pun rasa hormat dari mereka.”
Insiden kekerasan itu terjadi saat warga mencoba menemui langsung Wali Kota Eva Dwiana pada hari ketiga aksi. Namun, bukannya dialog, mereka justru disambut pagar tubuh puluhan Satpol PP.
“Ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini jeritan hati kami yang kehilangan keluarga, rumah, masa depan,” kata Wahyu, peserta lainnya. “Yang kami dapat? Diseret dari lantai atas gedung, didorong keluar, seperti kami bukan bagian dari kota ini.”
Sebuah video yang diterima awak media menunjukkan petugas berseragam menarik paksa seorang pemuda dari kerumunan, lalu mendorongnya hingga jatuh di depan gerbang.
Dialog yang Tak Pernah Terjadi
Di saat warga menanti pertemuan, Eva Dwiana justru menggelar konferensi pers. Di hadapan media, ia menyampaikan kesiapan berdialog. Tapi realitasnya berkata lain.
“Setelah acara, Bunda mau ketemu masyarakat. Tapi setelah mereka berdialog, rencana itu batal,” ujar Eva pada Jumat (25/04/2025). Pernyataan yang mengundang tanya: dialog mana yang dimaksud, jika warga justru diusir paksa?
Pemerintah mengklaim telah menyiapkan solusi: normalisasi saluran air, pembangunan embung, hingga penghijauan. Tapi bagi warga, janji tak cukup ketika nyawa sudah terlanjur hilang dan keadilan tak kunjung hadir.
Kasat Pol PP Bandarlampung, Ahmad Nurizki Erwandi, menyebut para pendemo bukan warga Bandarlampung. Pernyataan yang justru mengaburkan esensi: bahwa suara yang menyuarakan kebenaran tak bisa dibungkam dengan kartu identitas.
Tugas Satpol PP: Melindungi atau Menindas?
Ironisnya, tugas Satpol PP seharusnya menjaga ketertiban, memberikan perlindungan saat bencana, dan menegakkan hukum tanpa kekerasan. Tapi tiga hari aksi ini justru memperlihatkan wajah lain: institusi yang digunakan untuk membungkam, bukan melindungi.
Dalam situasi darurat, mereka seharusnya menjadi garda terdepan penyelamatan warga. Bukan alat represi. Bukan tangan besi yang mencakar, menyeret, dan mengintimidasi.
Bandarlampung, Kota dalam Krisis Ganda
Dalam dua tahun terakhir, banjir menjadi bencana langganan di Bandarlampung. Tata kota yang amburadul, alih fungsi lahan, dan buruknya drainase memperburuk keadaan. Namun, alih-alih solusi, warga justru dihadapkan pada pemimpin yang tertutup dan aparat yang represif.
“Pemimpin itu seharusnya mendengar, bukan menyerang,” ucap Kristin lirih.
Demo hari ketiga bukan hanya tentang banjir. Tapi tentang demokrasi yang dilukai. Tentang luka yang dibungkam oleh kekuasaan. Tentang warga yang terus berharap, bahwa suatu hari nanti, suara mereka tak lagi dibalas dengan kekerasan. (***/red)
What's Your Reaction?






