Kesaksian korban peristiwa Jambo Keupok, Aceh: 'Lolongan pilu saat tentara membakar hidup-hidup belasan orang'
Ketika Aceh dikoyak konflik bersenjata, belasan orang warga Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, disiksa, ditembak mati dan dibakar hidup-hidup oleh tentara Indonesia, 17 Mei 2003. Mereka dituduh mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Kasus ini sudah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat. Korban dan keluarganya menunggu janji rehabilitasi dan pemulihan - juga upaya hukumnya.
Ketika Aceh dikoyak konflik bersenjata, belasan orang warga Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, disiksa, ditembak mati, dan dibakar hidup-hidup oleh tentara Indonesia. Mereka dituduh simpatisan Gerakan Aceh Merdeka. Kasus ini sudah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat. Para korban menunggu janji rehabilitasi dan pemulihan - juga upaya hukum.
Peringatan: Artikel ini memuat detail yang dapat mengganggu kenyamanan Anda
Ali Usman, saat berumur 15 tahun, berada sekitar lima meter dari korban tidak bersalah yang ditembak mati oleh tentara Indonesia.
Ia bahkan masih ingat kemejanya kecipratan darah segar serta ceceran otak korban yang berhamburan.
Ali Usman hanya mematung dengan tatapan kosong di hadapan kejadian horor itu. Lebih dari 20 tahun kemudian, peristiwa itu terus menghantuinya.
"Perasaanku, aku nggak hidup lagi saat itu," kata Ali Usman, kini 33 tahun, saat mencoba mengingat lagi tragedi di Desa Jambo Keupok, Aceh, tempat tinggalnya, pada Sabtu pagi, 17 Mei 2003.
Pria yang ditembak adalah Khalidi, salah satu dari 16 warga sipil di desa itu yang dibunuh tentara bersenjata lengkap.
Baca juga:
Dengan dalih mengejar anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diduga bersembunyi di desa itu, pasukan TNI itu membunuh orang-orang tak bersalah - bahkan ada yang dibakar hidup-hidup.
Keputusan tersebut diambil pemerintahan Joko Widodo di tengah kebuntuan upaya penyelesaian hukum terhadap para aktor pelaku.
Pada awal Januari 2023, Presiden Joko Widodo Presiden mengatakan, sebagai kepala negara, dia mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada 12 kasus di masa lalu.
Korban dan keluarganya dijanjikan akan direhabilitasi dan dipulihkan nama baiknya dengan berbagai program yang disiapkan pemerintah, walaupun tidak menutup upaya hukumnya.
'Kamu pasti anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM)!'
Kembali lagi ke peristiwa di Sabtu pagi, 17 Mei 2003. Tindakan kekerasan para serdadu itu terjadi menjelang Darurat Militer diberlakukan di Aceh (19 Mei 2003) saat wilayah itu dikoyak konflik.
Baca juga:
Pagi itu, empat unit truk yang mengangkut tentara tiba di desa itu. Mereka mencari orang-orang yang diklaim sebagai anggota GAM.
Warga kemudian dipaksa berkumpul di pekarangan rumah, lalu digabung ke kelompok yang lebih besar.
Mereka membagi laki-laki dan perempuan ke dalam barisan yang berbeda-beda, lalu mulai menginterogasi mereka satu per satu.
Penduduk dipaksa mengaku, tanpa kecuali anak-anak seperti Ali Usman, bahwa di desa mereka terdapat anggota GAM.
"Mana GAM?" Pertanyaan setengah menghardik ini berhamburan. Lalu dijawab dengan setengah ketakutan oleh para warga, "kami tidak tahu."
Lantaran tidak mendapat jawaban seperti yang diinginkan, para serdadu itu kian beringas dan mulai melakukan kekerasan secara membabi buta.
"Aku pertama [-tama] kena tampar, setelah itu kena tendang," tutur Ali Usman.
Adapun Khalidi, orang yang ditembak di depan matanya, waktu itu baru saja pulang dari lokasi irigasi untuk mengecek hasil tangkapan ikan yang menyangkut di jaringnya.
Ia pulang dengan mengendarai sepeda motor tetapi di tengah jalan dicegat tentara.
Saat itu kampung tersebut sudah dipenuhi oleh tentara, sementara para penduduk dikumpulkan di bawah todongan senjata.
"Dari angkat jaring, pak," Ali Usman mengulang kembali jawaban yang dilontarkan oleh Khalidi ketika ditanya oleh tentara dari mana saja dirinya.
"Mana ada, kamu pasti baru pulang dari memberi nasi untuk GAM, kan!" balas tentara itu, seperti ditirukan Ali Usman.
Kendati sudah berkali-kali menjawab bahwa dirinya baru saja pulang dari menjaring ikan, tentara itu tetap tidak mau percaya dan langsung menembaknya.
Peluru dilesatkan ke arah punggung dan perut membuat laki-laki itu roboh seketika dengan posisi tertelungkup.
Untuk memastikan bahwa Khalidi benar-benar mati, tentara itu kembali melepaskan satu tembakan lagi ke kepalanya.
Adegan kekerasan pun terus dipertontonkan dan suara letusan senjata api milik tentara saling bersahutan seantero kampung.
Baca juga:
Tentara membakar hidup-hidup 12 pria - 'Terdengar lolongan pilu'
Puncaknya, 12 laki-laki dalam kondisi sekarat dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup di dalam salah satu rumah penduduk.
Mereka awalnya dibariskan di samping rumah, tempat mereka akan dibakar.
Dua tentara kemudian melepaskan rentetan peluru ke arah mereka secara menyilang, seperti membentuk huruf X.
Artinya, satu orang menembak dari arah kiri menuju ke kanan, sementara satu orang lagi menembak dari arah yang berlawanan.
Menurut kesaksian Ali Usman, setelah para korban roboh, beberapa orang tentara mulai menggotong tubuh korban lalu mencampakkan mereka satu per satu ke dalam rumah yang sebelumnya sudah disiram bensin.
Mereka dicampak seperti setumpuk karung gabah, "pegang tangan, pegang kaki, terus dilempar," kenang Ali Usman kepada wartawan Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ketika rumah itu dibakar, barisan anak-anak - seperti Ali Usman - sedang digiring ke halaman rumah yang lain.
Ia mengaku masih bisa mendengar lolongan pilu para korban dari dalam kobaran api.
Di tengah-tengah wawancara, Ali Usman tergagap, air matanya segera tumpah.
Di antara 12 orang yang dibakar itu juga terdapat ayahnya, Suwandi. Wawancara sempat terhenti sesaat ketika Ali Usman seperti tenggelam dalam pikirannya.
Waktu api mulai membubung tinggi dari rumah yang dibakar tadi, para ibu dan anak perempuan telah dipindahkan ke sebuah gedung sekolah dasar.
Mereka disekap di salah satu ruangan dan baru bisa keluar dari sana setelah tentara pergi dari kampung itu.
Yulida, 44 tahun, mengatakan bahwa mereka berani membuka pintu karena tidak mendengar lagi ada gerak-gerik tentara di luar gedung sekolah.
Beberapa jam sebelumnya, para tentara mendobrak masuk ke dalam rumahnya serta memaksa seluruh penghuni rumah keluar.
"Keluar semua! Kumpul!" tutur Yulida, saat ditemui wartawan Rino Abonita di rumahnya di Desa Jambo Keupok, Sabtu, 4 Maret 2023.
Waktu truk-truk milik tentara datang, kepala keluarga rumah itu, Abdul Adat, yang juga ayah dari Yulida, berusaha menenangkan anak-anaknya.
"Tidak usah lari, kita tidak bersalah," Yulida mengingat kata-kata ayahnya.
Jumlah tentara yang merangsek masuk ke dalam rumah mereka seingat Yulida jumlahnya hampir 10 orang.
"Dari jendela itu dua, dari pintu dua, dari sini entah lima yang masuk," Yulida menunjuk-nunjuk ke arah yang disebutkannya barusan.
Perempuan itu dengan tergesa-gesa keluar dari rumah sembari menggendong anaknya yang baru berusia dua tahun karena dipaksa dengan moncong senjata.
"Adik tadi yang lajang diseret [didorong] pakai senjata. 'Jalan cepat! [kalau] lambat disepak," Yulida berusaha menggambarkan bagaimana tentara-tentara itu menggiring mereka ke tempat di mana penduduk lain sedang dikumpulkan.
Para ibu dan anak perempuan yang awalnya dikumpulkan di depan rumah milik seorang warga mulai berteriak histeris demi melihat keluarga mereka disiksa di depan mata.
"Menjerit kami tengok orang [-orang] itu dipukul. Ayah [aku] sendiri di depan mata aku di pukul di sini," tutur Yulida. "Darah…, ini," paparnya sembari menarik garis di pelipisnya dari atas ke bawah, seakan ada darah kental mengalir di sana.
Yulida tidak tahu bahwa itu adalah momen terakhir ia bisa melihat sang ayah, Dulah Adat, hidup.
Saat itu, karena merasa terganggu dengan pekik histeris para ibu dan anak-anak perempuan, tentara segera mendorong mereka masuk ke dalam rumah lalu menguncinya dari luar.
Baca juga:
'Bunyi senjata tidak berhenti dalam dua jam'
Para tentara itu sempat melepaskan tembakan ke atas di sekeliling rumah itu secara bertubi-tubi.
"Bunyi senjata di sekeliling rumah nggak ada berhenti dua jam lebih. Dideretnya [Yulida menirukan bunyi rentetan suara senapan mesin], atap itu, kan enggak dengar apa-apa lagi," kisah Yulida.
Berselang puluhan menit kemudian, tiba-tiba pintu dibuka. Lalu seorang tentara muncul dan mulai memanggil nama mereka satu per satu.
Kelak baru diketahui bahwa tentara sedang berusaha memisahkan istri seorang warga yang selama ini menjadi informan aparat.
Mereka disuruh keluar satu per satu digiring menuju ke gedung sekolah dasar yang berjarak lebih kurang 150 meter dari rumah sebelumnya.
Para ibu dan anak perempuan berjalan dalam barisan yang agak renggang, tetapi dilarang melongok ke kiri dan kanan.
Dengan ketakutan mereka terpaksa melangkahi mayat seorang warga karena tidak diizinkan mengambil jalan yang lain.
Ternyata itu adalah mayat Khalidi, laki-laki yang sebelumnya ditembak di depan mata Ali Usman.
"Sampai dekat rumah menasah itu, tampak pula mayat di situ satu lagi. Rupanya bapak Kasturi," sebut Yulida lagi.
Sesampai di sekolah, tentara mengunci mereka di dalam salah satu ruangan dan lagi-lagi menembak ke atas untuk menebar teror.
"Kami pun nggak dengar apa-apa lagi, sudah kayak trauma semua. Dibilang takut, nggak takut lagi. Dibilang nggak takut, paling takut," perempuan itu memperagakan badan orang yang sedang menggigil ketakutan.
Setelah memberanikan diri keluar karena dirasa tentara telah pergi, asap terlihat mengepul di langit-langit desa.
Yulida ingat bahwa aroma yang menguar dari rumah tersebut terasa pahit, "kayak rumah kebakaran, [tetapi] baunya bukan bau rumah [terbakar] lagi."
Penduduk desa yang masih memiliki tenaga berusaha memadamkan api dengan cara menimba air dari sumur terdekat.
Api baru dapat dipadamkan menjelang tengah hari.
Baca juga:
Jenazah-jenazah yang hangus digotong ke pekarangan
Momen paling menyesakkan dada adalah waktu jenazah yang rata-rata telah hangus itu digotong satu per satu ke pekarangan.
Di antara 12 jenazah tersebut terdapat ayah dan adik Yulida, yaitu Dulah Adat, dan Saili, yang saat itu berumur sekitar 20 tahun.
Keluarganya segera mengenali jenazah Dulah Adat lantaran peci serta kain sarung yang dikenakannya.
Pagi itu ayahnya berencana pergi wiridan bersama sang istri, Baiyah, ke kecamatan.
Uang yang hendak dibawa Dulah Adat sebagai bekal selama kegiatan wiridan masih tersimpan dengan rapi di dalam gulungan kain sarungnya.
Begitu pula peci yang dikenakannya, "[pecinya di] bawa ke dalam kubur [an] terus, nggak dibuka orang."
Adapun jenazah Saili lebih mudah dikenali karena yang hangus hanya bagian kaki sampai ke pinggang saja.
Sementara itu, jenazah ayah Ali Usman, Suwandi, bisa diidentifikasi karena kebiasaan ayahnya yang sehari-sehari lebih suka bertelanjang dada sewaktu berada di rumah.
"[Pokoknya] tetap ada tanda-tandanya masing-masing," kata Ali Usman.
Selain Dulah Adat, Saili, dan Suwandi, nama-nama yang masuk dalam 12 korban dibakar yaitu, Nurdin, Asri, Amiruddin, Tarmizi, Mukhtar, Usman, Abdurrahim, Mukminin, dan Bustami.
Di luar itu terdapat empat orang lagi yang ikut menjadi korban, yaitu Kasturi, Burahman, dan Budiman, termasuk salah satunya Khalidi.
Baca juga:
Moncong senapan dimasukkan ke mulut
Dari empat orang ini ada yang disiksa serta dipermalukan terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Kasturi ditembak saat istrinya berupaya melindungi laki-laki itu dari moncong senjata yang berusaha diarahkan kepadanya.
Betis istri Kasturi cacat seumur hidup karena luka tembakan.
Burahman ditembak oleh 15 orang tentara setelah disuruh lari terlebih dahulu, sementara Budiman dibunuh dengan cara moncong senapan dimasukkan ke mulut.
Sebelum menembak kepalanya, para tentara terlebih dahulu mempermainkan Burahman.
Mereka menyuruhnya berjoget dalam kondisi telanjang sembari dioper ke sana ke mari seperti bola.
Menjelang tengah hari, para korban mulai dikuburkan secara massal tanpa prosesi pemakaman yang layak.
Karena trauma dan takut, penduduk pun memilih mengungsi ke masjid setempat selama 44 hari, ketika tentara masih hilir mudik di desa itu.
Mereka tinggal di sana dalam kondisi yang memprihatinkan karena kekurangan bahan makanan.
"Menderitanya itu, nggak bisa aku cerita lagi. Karena setelah itu, aku merasakan memang enggak tahu kubilang kesedihan aku," ujar Ali Usman.
Sama seperti Ali Usman, Yulida juga mengaku tidak mampu menggambarkan penderitaan seperti yang dialami oleh keluarganya.
"Saya yang tulang punggung rumah ini, yang cari makan. Saya pernah tiga tahun cari damar kasih makan adik sama mamak, padahal nggak pernah kejadian perempuan cari damar," tegas Yulida.
Dua dekade kemudian, Presiden Joko Widodo secara resmi mengakui peristiwa yang terjadi di Jambo Keupok sebagai pelanggaran HAM berat, bersama 11 kasus lainnya.
Di dalamnya termasuk pula dua kasus kejahatan kemanusiaan oleh militer lainnya di Aceh yang berlangsung di Rumoh Geudong, Pidie, dan Simpang KKA, Aceh Utara.
Melalui Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022, Jokowi bahkan membentuk tim penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM).
Komnas HAM: 'Serangan sistematis di bawah komando yang jelas'
Kesaksian sumber BBC News Indonesia mengungkap bahwa beberapa hari sebelum menyerang desa itu, sempat digelar latihan menembak oleh pihak militer Indonesia di lapangan sepak bola Kecamatan Bakongan.
Malam sebelum datang ke desa juga sempat terdengar suara rentetan tembakan yang dilepaskan ke udara.
Setelah itu dilanjutkan dengan arak-arakan truk tentara menuju pos militer yang juga menjadi tempat untuk mengontrol 10 desa di Kecamatan Bakongan.
Selain itu, pada malam sebelum penyerangan, ada saksi mata yang melihat gerombolan prajurit bersenjata lengkap mengendap-endap ke dalam hutan dengan cara memutar dari belakang Desa Seuneubok Keuranji menuju ke Desa Jambo Keupok.
Artinya, tentara sebenarnya sudah mengepung desa itu sejak malam, kata saksi tersebut.
Keterangan ini menegaskan hasil temuan Komnas HAM bahwa yang terjadi di Jambo Keupok merupakan "serangan sistematis di bawah komando yang jelas".
Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, individu yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa ini dapat ditarik mulai Panglima TNI selaku komandan pembuat kebijakan sampai pimpinan sipil saat itu, yaitu bupati.
Dan akhirnya, upaya penyelesaian hukum melalui pengadilan HAM atas peristiwa berdarah ini, tidak pernah terealisasi.
Alasannya, rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM agar Kejaksaan Agung menindaklanjutinya, tidak pernah dilakukan, karena bukti-buktinya dianggap lemah.
Tim PPHAM temui korban Jambo Keupok - bagaimana reaksi korban?
Sejauh ini, Tim penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) bentukan presiden telah menemui para korban Jambo Keupok dengan cara mengundang mereka dari pelosok ke ibu kota provinsi.
Baik Yulida maupun Ali Usman, mengaku tidak tahu harus menanggapi seperti apa beleid pemerintah tersebut.
"Aku bilang belum bagus belum tentu, kubilang bagus, belum juga tentu karena istilahnya kenyataannya belum ada. Dampaknya karena belum ada," kata Ali Usman.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan kasus Jambo Keupok
Aceh sendiri memiliki lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebuah lembaga yang lahir belasan tahun pascadamai.
Lembaga yang baru melewati satu periode masa kepemimpinan itu juga menangani pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme nonyudisial.
Menurut Komisioner KKR Aceh, Yuliati, kendati tidak menangani tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, pengambilan pernyataan yang mereka lakukan adakala bersentuhan dengan ketiganya.
Tim pengambil pernyataan terkadang bertemu dengan para korban dalam tiga kasus tersebut karena kebetulan berada di wilayah penanganan mereka.
"Seperti di wilayah Aceh Utara, KKR menemukan korban yang dari Simpang KKA. Untuk wilayah Pidie, KKR mengambil seluruh peristiwa di situ, salah satunya korban dari Rumoh Geudong," terang Yuliati, ditemui di salah satu kedai kopi di kawasan Beurawe, Banda Aceh, Senin, 6 Maret 2023.
Pengambilan pernyataan sendiri sederhananya merupakan kegiatan mencatat peristiwa dan dampak yang dialami korban kemudian menelaahnya.
Namun, untuk kasus Jambo Keupok, Yuliati mengakui bahwa pengambil pernyataan KKR Aceh belum sampai ke sana.
"Tetapi KKR melihat mencatat dampak yang dialami dari cerita korban di sekitarnya, bagaimana peristiwa Jambo Keupok itu berdampak pada psikologis mereka," kata Yuliati.
Adapun temuan yang telah dikumpulkan selama pengambilan pernyataan ini, kata Yuliati, akan dianalisis untuk kemudian diberi rekomendasi agar ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Untuk periode pertama masa kerja, KKR Aceh telah mengambil sebanyak 5.264 pernyataan korban, keluarga korban, dan para pihak yang menjadi saksi, dari sejumlah kabupaten/kota.
Setelah menganalisis tingkat kebutuhannya, diambil 245 nama yang akan menerima apa yang mereka sebut sebagai "reparasi mendesak".
Dari 245 orang, jumlah mengecil jadi 235 orang karena sembilan orang di antara mereka dinyatakan meninggal dunia sementara satu orang lagi mendapat bantuan dari lembaga lain.
Para korban dapat kompensasi dalam skema bantuan sosial atau bansos berupa uang senilai Rp10 juta.
Uang tersebut sudah dikirim melalui rekening pada Desember 2022 dengan pelaksana Badan Reintegrasi Aceh (BRA) di bawah realisasi anggaran 2022.
Usulan reparasi mendesak sendiri sebenarnya telah diajukan secara bertahap sejak 2019 tetapi baru dapat direalisasikan pada Desember 2022.
Rentang waktu yang lama ini sempat dikritik oleh KontraS Aceh, karena keterlambatan itu membuat sembilan korban yang meninggal dunia urung mendapat kompensasi seperti yang lain.
Cara pemerintah menanggapi rekomendasi mendesak dengan skema bantuan sosial juga terkesan menegasikan fakta bahwa penerima merupakan korban pelanggaran HAM masa lalu, kata KontraS.
KKR Aceh, menurut Yuliati, pihaknya baru-baru ini telah menyerahkan dokumen berisi 5.264 pernyataan kepada Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta.
KKR Aceh mencoba bermanuver agar data yang diverifikasi oleh lembaga itu bisa dipertimbangkan mengingat Jokowi telah mengeluarkan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.
"Keppres itu menjadi pintu masuk bagi KKR untuk pelaksanaan reparasi ini karena apa, karena keppres yang dikeluarkan itu adalah pelaksanaan pemulihan dengan mekanisme nonyudisial dan konteks KKR memang dengan mekanisme nonyudisial" kata Yuliati.
Setahu Yuliati, Mahfud menyambut baik harapan KKR Aceh yang menginginkan agar data yang telah dikumpulkan selama beberapa tahun itu bisa ditanggapi oleh pemerintah Indonesia melalui regulasi tertentu.
Saat ini, KKR Aceh sedang menggarap draf regulasi tingkat provinsi mengenai reparasi terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu yang diharap akan disambut melalui regulasi induk di pusat.
"Semestinya, presiden juga mengeluarkan satu kebijakan sama halnya seperti presiden mengeluarkan keppres untuk tiga kasus pelanggaran HAM ini. Apakah dia bentuknya inpres atau keppres, minimal dia sudah punya payung hukum," ujar Yuliati.
Baca juga:
KontraS Aceh: 'Berpotensi melanggengkan impunitas'
Sementara itu, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan bahwa semestinya pemerintah pusat belajar dari KKR Aceh terkait pelaksanaan nonyudisial serta memperkuatnya alih-alih membuat mekanisme nonyudisial tandingan.
"Keppres No. 17 Tahun 2022 itu bersifat temporer dan hanya menjangkau sebagian korban saja," kata Azharul Husna, Selasa, 7 Maret 2023.
Kendati mengatakan bahwa mekanisme yudisial dan nonyudisial bisa saling melengkapi atau komplementer, jalan yang ditempuh oleh pemerintah terkait 12 kasus pelanggaran HAM berat, menurut Azharul, berpotensi melanggengkan impunitas.
"Ingat, dalam mekanisme nonyudisial berdasarkan Perpres 17 tahun 2022 itu tidak menyebutkan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu serta pertanggungjawabannya," tegas Azharul Husna.
Membuka jalur nonyudisial juga membuat negara semakin terdengar pesimis dan lesu dalam menyeret pelaku ke Pengadilan HAM, katanya.
Karena, sambungnya, tidak ditemukan mekanisme alternatif seperti yang diambil oleh Jokowi menurut UU Pengadilan HAM.
Apalagi, kata Azharul Husna, kejahatan kemanusiaan di Jambo Keupok terjadi pada 2003, setelah UU Pengadilan HAM disahkan di Indonesia.
"Tentu saja dalam kasus pelanggaran HAM asas retroaktif berlaku, tetapi yang dilihat di sini ialah langkah negara menyegerakan tindak lanjut kasus Jambo Keupok dengan UU Pengadilan HAM karena ia terjadi, ibaratnya tepat di depan mata UU tersebut," tegas Azharul Husna.
Tidak menaruh dendam, tapi berharap pelaku diadili
BBC News Indonesia juga meminta pendapat Murtala, ketua forum yang diisi korban dan keluarga korban peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara soal jalur nonyudisial yang sedang digarap oleh pemerintah Indonesia.
Menurut Murtala, jalur nonyudisial yang sedang ditempuh oleh pemerintah berpotensi mengubur fakta pelanggaran HAM masa lalu.
"Keppres itu tidak dibarengi dengan memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan ataupun rekomendasi Komnas HAM yang sudah di Kejaksaan Agung," jawab Murtala, Rabu, 8 Maret 2023.
Soal rekomendasi pemulihan untuk korban atau keluarganya, kata Murtala, merupakan kewajiban negara yang tidak mesti diejawantahkan melalui mekanisme penyelesaian nonyudisial via keppres.
Hal senada diungkap oleh ketua komunitas pendamping korban Rumoh Geudong, Farida Haryani, bahwa pemulihan untuk korban atau keluarganya memang semestinya diberikan untuk mengisi masa-masa kekosongan di mana jalur penegakan hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc belum terlaksana.
"Masyarakat tentu menginginkan ada penegakan hukum dan tidak dilupakan juga nonyudisial. Yang jangan selama menunggu penegakan hukum, mereka sudah meninggal satu per satu, nonyudisial juga tidak dilakukan.
"Jadi mereka meminta ada keseimbangan antara penegakan hukum dan nonyudisial," tegas Farida Haryani melalui telepon, Rabu, 8 Maret 2023.
Sementara itu, keluarga korban kasus Jambo Keupok, Ali Usman dan Yulida sepakat untuk tidak lagi menaruh dendam di dalam hati mereka, tetapi tetap berharap yang bertanggungjawab atas kejadian itu diseret ke pengadilan.
"Kalau pengadilannya (Pengadilan HAM) diajukan nanti, ya, maulah," pungkas Yulida.
Reportase di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, oleh wartawan di Aceh, Rino Abonita.
What's Your Reaction?