Mewujudkan Kemanfaatan Hukum dalam Perkara Basarnas

OTT yang dilakukan oleh KPK dengan menyeret Kabasarnas dan Koorsmin Basarnas yang masih anggota TNI aktif dengan status tersangka menuai polemik.

Mewujudkan Kemanfaatan Hukum dalam Perkara Basarnas
image
Polemik yang lahir karena peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK dengan menyeret Kabasarnas dan Koorsmin Basarnas yang masih anggota TNI aktif dengan status tersangka banyak menuai kritik. Hal itu disebabkan karena secara hukum positif, KPK tidak berwenang dalam hal menetapkan tersangka kepada anggota militer yang masih aktif. Atas peristiwa hukum tersebut, yang dianggap menyalahi proses dan prosedur, KPK telah melakukan permohonan maaf kepada Mabes TNI atas kesalahan yang dilakukan oleh Penyelidik/Penyidik KPK.

Melihat fenomena di atas, OTT KPK yang dilakukan di Jakarta dan Bekasi (25/7) telah melibatkan banyak pihak. Ya, terdapat lima orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK pasca peristiwa itu, yakni MG selaku Komisaris Utama PT MGCS, MA selaku Direktur Utama PT IGS, RA selaku Direktur Utama PT KAU, ABC selaku Koorsmin Kabasarnas, dan HA selaku Kabasarnas.

Peristiwa ini haruslah dilihat secara komprehensif, bukan secara parsial. Meskipun, subjek hukum di dalam peristiwa tersebut berbeda-beda, yang berimplikasi pada ketentuan hukum yang mengaturnya, baik proses maupun proseduralnya. Namun, hal itu jangan menjadi hambatan yang substansial. Mengingat, tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh beberapa orang, baik sebagai penyuap aktif maupun penyuap pasif.

Persoalan pokoknya adalah pada proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP. Melihat dengan sudut pandang ketentuan tersebut secara legisme, maka tindakan hukum yang dilakukan oleh KPK dapat dikatakan sebagai abuse of power. Hal ini yang banyak menuai kritik, baik dari sisi akademisi maupun mantan pimpinan KPK, yang juga ramai berkomentar untuk menyuarakan pimpinan KPK saat ini mundur, dengan dalih kesalahan yang dilakukan sangat fatal.

Paham legisme yang lebih mengedepankan sisi kepastian hukum, dengan sifat kekakuannya pada konstruksi norma, tidak banyak juga telah mengorbankan sisi kemanfaatan hukum dan keadilan hukum itu sendiri. Dalam peristiwa ini contohnya. Sisi kepastian hukum terkait kewenangan penyidikan apabila subjek hukum anggota militer yang terlibat, maka yang berwenang adalah polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi. Dengan kata lain, KPK tidak berwenang melakukan penyidikan. Sehingga, sebagian orang mengatakan bahwa proses penyidikan KPK cacat prosedur.

Namun, melihat peristiwa ini seharusnya tidak berhenti di situ, meskipun KPK tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap anggota militer yang aktif, namun KPK tetap berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada pihak (swasta) yang lain. Dalam peristiwa ini, hal itu merupakan satu kesatuan rangkaian peristiwa yang tidak dapat dipisahkan. Tindakan hukum yang telah dilakukan oleh KPK melakukan OTT dan penetapan tersangka kepada pelaku (swasta) yang lain, KPK pasti sudah memiliki bukti permulaan yang cukup (minimal dua alat bukti yang sah).

Faktor ini yang seharusnya menjadi langkah awal bagi Penyidik Militer yang berwenang tersebut untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan kepada anggotanya yang tersangkut kasus ini. Bukan malah mempersoalkan terkait status tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Namun, bertindak proaktif menindaklanjuti kasus korupsi ini terhadap anggota militer yang diduga terlibat tersebut. Mengingat, membongkar kasus tipikor yang dilakukan oleh "bapak-bapak" itu tidaklah mudah. Butuh waktu, strategi dan pengumpulan alat bukti yang terang benderang juga. Ya, sisi kemanfaatan hukum pada konteks peristiwa ini harus lebih dikedepankan.

Bukti-bukti dan/atau alat bukti tersebut dapat dikembangkan oleh Penyidik Militer guna proses penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota militer yang terlibat dalam peristiwa ini. Alat bukti tersebut dapat juga dilakukan dengan kriteria validitas dan relevansi. Validitas maksudnya adalah terkait perolehan alat bukti tersebut, kapan dan bagaimana alat bukti tersebut diperoleh.

Sedangkan, pada relevansi yakni terkait apakah alat bukti tersebut yang telah diperoleh relevan dengan tindak pidana yang disangkakan kepada para pelaku. Patut diuji terkait alat bukti yang diperoleh oleh KPK, apakah Penyidik Militer dapat melakukan pengembangan atau malah sebaliknya dengan anggapan tidak cukup bukti?

Selanjutnya, pada sisi kemanfaatan hukum guna tindak lanjut dalam fenomena penegakan hukum ini yakni tindak pidana korupsi yang sudah bertahun-tahun terjadi di tubuh Basarnas dapat terdeteksi. Meskipun, kerugian keuangan negara sudah terjadi, namun kerugian keuangan negara pada proses pengadaan barang/jasa yang lainnya dapat dicegah. Serta, tidak lupa untuk tetap melakukan perwujudan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara kepada para pelaku.

Aspek kemanfaatan hukum yang sering digaungkan oleh Gustav Radbruch di dalam proses penegakan hukum. Tidak mendikotomi antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, namun mewujudkan proses penegakan hukum yang terwujud "kepastian yang berkemanfaatan". Masyarakat meskipun tidak secara langsung terlibat dalam proses penegakan hukum ini, tetap bisa merasakan sisi keadilannya --apakah proses penegakan hukum ini dilaksanakan secara profesional atau hanya mengedepankan ego sektoral kelembagaan.

Dari uraian di atas, maka kebijakan saat ini ada pada Penyidik Militer, apakah akan menindaklanjuti temuan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh KPK dengan menetapkan Kabasarnas dan Koorsmin Basarnas sebagai tersangka, atau sebaliknya, dengan alasan tidak cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana korupsi? Patut ditunggu kebijakan yang akan diambil Penyidik Militer dalam fenomena penegakan hukum ini.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow