Refleksi Mei 1998: Ratusan Perempuan Jadi Korban, Termasuk di Surabaya
Peristiwa Mei 1998 menyisakan trauma mendalam, terutama bagi perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual. Penting untuk diingat dan diajarkan.


Mei 1998 menjadi salah satu peristiwa sejarah di Indonesia yang tak boleh dilupakan. Banyak nyawa yang jadi korban kekerasan, termasuk di Surabaya pada 27 tahun silam.
Peristiwa Mei 1998 juga masih menyisakan trauma yang belum tuntas. Ratusan perempuan, khususnya perempuan etnis Tionghoa, menjadi target kekerasan seksual sistematis yang melukai tubuh, identitas, hingga komunitas mereka.
Kekerasan itu pun tidak hanya terjadi dalam ruang privat, namun juga dilakukan di ruang publik dengan sadis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivis Perempuan dan Pendamping Korban Tragedi Mei 1998, Ita Fatia Nadia, merefleksikan terjadi peristiwa tersebut. Ia mengungkapkan bahwa reformasi tidak hanya tentang demonstrasi massal, namun setidaknya ada 165 orang perempuan yang jadi korban kekerasan seksual di masa itu.
"Ada 165 korban, tapi yang terverifikasi itu 65. Kenapa yang 100 tidak? Karena banyak sekali korban-korban yang tidak mau (berbicara). Misalnya saya kan langsung menangani korban, itu banyak sekali korban-korban yang terutama anak muda. Karena yang diperkosa itu sangat muda, itu dilarang sama keluarga (untuk buka suara)," ujar Ita di Universitas Surabaya, Sabtu (24/5/2025).
Ita mencontohkan saat itu ia pernah mendampingi seorang korban yang berasal dari Surabaya. Peristiwa sadis itu pun terjadi di beberapa kota lainnya.
"Di Medan, di Palembang, di Jakarta, di Surabaya (terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan saat Mei 1998)," katanya.
Dirinya menceritakan, kini para korban berangsur pulih dan mulai menjalani kehidupannya. Ada yang telah bangkit dan saat ini berprofesi sebagai dokter, ekonom, dan lainnya. Namun peristiwa Mei 1998 tak boleh dilupakan.
"Yang nomor satu adalah peristiwa Mei 1998 harus masuk dalam buku ajar sejarah. Agar seluruh bangsa Indonesia ini, terutama orang muda, tahu bahwa terjadi peristiwa tragis perkosaan masal pada Mei 1998," tuturnya.
Perempuan yang juga merupakan Anggota Board Amnesty International Indonesia itu turut menekankan bahwa peristiwa Mei 1998 harus diakui sebagai pelanggaran HAM berat.
"Yang ketiga, kita harus menolak segala bentuk militerisme dan fasisme," tegasnya.
(auh/abq)
What's Your Reaction?






